|
Ilustrasi [sumber: id.zulkarnainazis.com] |
Berbagai bencana hidrometeorologi yang menimpa manusia sering dikatakan sebagai dampak
perubahan iklim. Adanya perubahan pada iklim seakan menjawab pertanyaan mengapa
banjir lebih sering melanda, mengapa musim kemarau berkepanjangan ataupun mengapa
cuaca ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim dianggap sebagai pelaku karena
tidak ada pihak yang ingin menerima limpahan kesalahan. Pada sebuah bencana alam
yang terjadi harus ada pihak yang bertanggung jawab secara tidak langsung.
Masyarakat sukanya menyalahkan pemerintah yang melakukan pembangunan tidak
tepat. Pemerintah yang telah bekerja menyalahkan masyarakat yang umumnya tidak
peduli pada lingkungan. Pada akhirnya siapa yang salah, siapa yang tahu?
Peningkatan frekuensi kejadian
cuaca/iklim ekstrim merupakan bagian dari efek perubahan iklim. Hal ini telah
dibuktikan oleh data-data pengamatan dalam kurun waktu yang panjang. Kuantitas
dan intensitas kejadian hujan lebat terus meningkat dan menyebabkan banjir.
Hujan lebat di Sumatera Barat cenderung mengalami peningkatan 1.5 hari setiap
tahunnya. Artinya dalam 10 tahun ke depan, frekuensi kejadian hujan lebat dapat
bertambah 15 hari. Bayangkan saja, dengan kondisi hujan lebat yang sering
terjadi saat ini sudah menyebabkan banjir dimana-mana, apalagi ketika frekuensi
kejadian hujan lebat meningkat.
Perubahan iklim diketahui
sebagian besar akibat aktivitas manusia. Dari hasil survei jajak pendapat yang
diberitakan cbsnews.com, hanya 64 %
orang Inggris dan Australia yang setuju dengan pernyataan tersebut. Orang
Amerika bahkan hanya 54 % yang setuju. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat dunia tidak meyakini bahwa aktivitas manusia saat ini sebagian besar
menyebabkan terjadinya perubahan iklim walaupun dengan beberapa bukti yang
telah dipaparkan.
Definisi perubahan iklim belum
dipahami dengan benar oleh masyarakat. Pengetahuan umum mengetahui bahwa
perubahan iklim berarti iklim telah berubah, tidak seperti kebiasaan umum.
Namun perlu diketahui bahwa ada suatu fenomena yang juga terjadi di muka bumi
ini yaitu variabilitas iklim. Sangat sulit untuk menentukan suatu kejadian
ekstrim akibat dari adanya perubahan iklim karena kejadian ekstrim itu biasanya
dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor. Artinya bahwa ketika perubahan
iklim itu pun tidak terjadi, tidak menutup kemungkinan sebuah kejadian ekstrim tidak
dapat terjadi.
Mengingat kejadian La Nina pada
tahun 2010 yang mengakibatkan wilayah Indonesia secara umum mengalami musim hujan
sepanjang tahun, hal ini belum dapat dipastikan sebagai akibat dari adanya
perubahan iklim. Kondisi ini lebih dapat dijelaskan oleh adanya variabilitas
iklim. Artinya iklim itu bervariasi, tidak konstan. Jika perubahan iklim
menandakan iklim yang berubah dan tidak akan kembali lagi seperti dahulu kala maka
variabilitas menandakan perubahan yang hanya sementara dan akan kembali ke
keadaan semula.
Perubahan iklim niscaya akan mengakibatkan
bencana yang sangat besar di masa depan jika kondisi suhu rata-rata muka bumi
terus meningkat. Peningkatan suhu ini lebih kita kenal sebagai pemanasan
global. Beberapa daerah telah
menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata tahunan. Misalnya saja Wamena
Papua yang merupakan daerah pegunungan yang dingin dengan suhu rata-rata 25.97 0C
mengalami peningkatan suhu sebesar 1.38 0C/10 tahun. Hal ini
menandakan bahwa jika pemanasan terus terjadi maka dalam 40 tahun yang akan
datang, panasnya Wamena akan sama seperti panasnya Jakarta saat ini.
Konsentrasi Karbon Dioksida (CO2)
juga menunjukkan kecenderungan peningkatan. Menurut WMO Greenhouse Gas
Bulletin, jumlah CO2 di atmosfer mencapai 393,1 ppm pada 2012, atau meningkat
141% dari konsentrasinya di masa pra-industri. Tingkat perubahan yang sangat
dramatis ini diketahui akibat aktivitas manusia dan belum pernah terjadi selama
ini. CO2 merupakan gas rumah kaca yang dapat tinggal di atmosfer hingga 80 - 120 tahun. Walaupun potensi
pemanasan global CO2 tergolong lemah namun karena jumlahnya banyak maka tentu saja keberadaan gas ini secara berlebih dapat sangat mengancam kenyamanan bumi kita.
Perubahan iklim telah tercatat
benar terjadi. Perubahan iklim di masa lampau merupakan fenomena yang alami
sedangkan kebanyakan perubahan pada 50 tahun terakhir ini lebih disebabkan oleh
aktivitas manusia. Manusia mempercepat terjadinya perubahan iklim melalui
aktivitas yang tidak bersahabat dengan alam semisal pengrusakan hutan. Manusia
melakukan aksi maka alam akan bereaksi.
Menyadari hal tersebut maka perlu dilakukan
upaya bersama dalam adaptasi dan mitigasi untuk menanggulangi dampak yang
semakin besar. Kejadian dan bencana yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi
pengingat bagi kita bahwa bumi kita saat ini berada pada kondisi “sakit”. Berbagai
bencana yang menimpa jangan hanya diterima sebagai dampak perubahan iklim tanpa
adanya kesadaran mendalam tentang kesalahan manusia di dalamnya. Mari kita
memaknai perubahan iklim sebagai “akibat” bukan “penyebab”. Jadi mulai
sekarang, berhenti mengkambinghitamkan perubahan iklim. Mari melakukan sesuatu
yang bermanfaat untuk mengurangi dampaknya hari ini dan di masa yang akan datang.
*ditulis sebagai syarat kelulusan diklat PMG Fungsional Ahli angkatan VI tahun 2015