laman

Minggu, 05 Juni 2016

Analisis Dryspell Kendari

Dryspell dapat diartikan sebagai masa kering atau hari tanpa hujan berturut-turut. Analisis peluang kejadian dryspell ini dapat digunakan untuk analisis potensi kekeringan suatu wilayah. Dari gambar di bawah dapat diketahui bahwa potensi kekeringan terbesar di Kendari terjadi di bulan September dengan peluang kejadian sebesar 59 %. Sementara itu peluang kekeringan terendah dengan lama masa kering 5 hari terjadi di bulan Februari dengan persentase 41 %. 

Peluang terjadinya masa kering selama 5 hari umumnya sangat besar di sepanjang tahun. Namun peluang besar terjadinya masa kering dari 10 hingga 20 hari hanya terdapat di musim kemarau terutama di bulan September. Menariknya adalah peluang tertinggi masa kering selama 20 hari hanya sebesar 59 % yang berarti bahwa potensi kekeringan di musim kemarau di kota Kendari masih terbilang sedang (mendekati 50%). Hal ini diperkuat dengan panjang musim kemarau di kota Kendari yang hanya kurang lebih 4 bulan saja.





Minggu, 22 Mei 2016

Dampak El Nino terhadap Musim di Sultra

Frekuensi Anomali Curah Hujan terhadap Normal

El Nino diketahui membawa dampak mengurangi curah hujan di banyak wilayah di Indonesia khususnya di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Sulawesi Tenggara yang berbatasan dengan Laut Banda sangat signifikan terpengaruh oleh kejadian El Nino. Curah hujan pada tahun El Nino jika dibandingkan dengan kondisi normal menunjukkan bahwa El Nino secara umum mereduksi curah hujan di Sulawesi Tenggara. Namun ternyata dampak El Nino kurang signifikan saat El Nino tersebut terjadi di musim hujan. Gambar di atas menunjukkan bahwa secara umum El Nino di Musim Kemarau lebih berdampak mengurangi curah hujan dibandingkan saat terjadi di Musim Hujan. Hal ini disebabkan aktifnya Monsun Asia sehingga sekuat apapun intensitas El Nino tersebut akan kalah oleh kehadiran Monsun Asia. Monsun Asia memberikan suplai uap air yang cukup untuk pembentukan awan-awan hujan di Sulawesi Tenggara.

Dampak El Nino yang sangat signifikan di musim kemarau ini perlu diwaspadai mengingat sifat musim kemarau yang kering jika diperkuat dengan kejadian El Nino maka potensi keringnya menjadi semakin besar.

Sabtu, 07 Mei 2016

BMKG Maritim Kendari gelar Sekolah Lapang Iklim Nelayan

Sekolah Lapang Iklim (SLI) Nelayan pertama di Indonesia diadakan oleh Stasiun Meteorologi Maritim Kendari. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Plaza Inn Kendari pada tanggal 2 – 5 Mei 2016. Kegiatan yang dibuka oleh Bapak Drs. Rivai Marulak selaku Kepala Balai Besar Wilayah IV Makassar ini dihadiri oleh para Kepala UPT BMKG Sulawesi Tenggara, Kepala DKP, Kepala BP4K, Kepala PPS dari Kota Kendari dan tim pendamping dari BMKG pusat dan Staklim Negare Bali. Para peserta merupakan penyuluh perikanan dari Kabupaten Konawe, Konsel, Konut, dan Kota Kendari. Kegiatan ini merupakan SLI tahap II yang berupa pemaparan materi, praktek dan simulasi, serta pada hari terakhir dilakukan field trip ke Stasiun Meteorologi Maritim Kendari untuk lebih memperkenalkan layanan dan informasi BMKG. Terlaksananya SLI nelayan merupakan program Nawacita Presiden Joko Widodo khususnya bidang kemaritiman dimana BMKG berperan sebagai penyedia informasi kepada para nelayan agar bisa meningkatkan hasil tangkapan di masa yang akan datang. SLI nelayan merupakan tindak lanjut dari SLI pertanian yang telah dilakukan di banyak provinsi di Indonesia. Melalui SLI nelayan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai informasi cuaca dan iklim kepada para penyuluh perikanan sehingga mereka mampu memanfaatkan informasi tersebut untuk mendukung kegiatan para nelayan.

Foto Bersama di Acara Pembukaan


Peserta Melakukan Pre-Test

  
Pemaparan Materi



Diskusi


Peserta Bermain Game

Peserta Dibagi dalam Beberapa Kelompok

Field Trip ke Stasiun Meteorologi Maritim Kendari

Panitia

Minggu, 14 Februari 2016

Stop Mengkambinghitamkan Perubahan Iklim

Ilustrasi [sumber: id.zulkarnainazis.com]
Berbagai bencana hidrometeorologi yang menimpa manusia sering dikatakan sebagai dampak perubahan iklim. Adanya perubahan pada iklim seakan menjawab pertanyaan mengapa banjir lebih sering melanda, mengapa musim kemarau berkepanjangan ataupun mengapa cuaca ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim dianggap sebagai pelaku karena tidak ada pihak yang ingin menerima limpahan kesalahan. Pada sebuah bencana alam yang terjadi harus ada pihak yang bertanggung jawab secara tidak langsung. Masyarakat sukanya menyalahkan pemerintah yang melakukan pembangunan tidak tepat. Pemerintah yang telah bekerja menyalahkan masyarakat yang umumnya tidak peduli pada lingkungan. Pada akhirnya siapa yang salah, siapa yang tahu?

Peningkatan frekuensi kejadian cuaca/iklim ekstrim merupakan bagian dari efek perubahan iklim. Hal ini telah dibuktikan oleh data-data pengamatan dalam kurun waktu yang panjang. Kuantitas dan intensitas kejadian hujan lebat terus meningkat dan menyebabkan banjir. Hujan lebat di Sumatera Barat cenderung mengalami peningkatan 1.5 hari setiap tahunnya. Artinya dalam 10 tahun ke depan, frekuensi kejadian hujan lebat dapat bertambah 15 hari. Bayangkan saja, dengan kondisi hujan lebat yang sering terjadi saat ini sudah menyebabkan banjir dimana-mana, apalagi ketika frekuensi kejadian hujan lebat meningkat.

Perubahan iklim diketahui sebagian besar akibat aktivitas manusia. Dari hasil survei jajak pendapat yang diberitakan cbsnews.com, hanya 64 % orang Inggris dan Australia yang setuju dengan pernyataan tersebut. Orang Amerika bahkan hanya 54 % yang setuju. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat dunia tidak meyakini bahwa aktivitas manusia saat ini sebagian besar menyebabkan terjadinya perubahan iklim walaupun dengan beberapa bukti yang telah dipaparkan.

Definisi perubahan iklim belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Pengetahuan umum mengetahui bahwa perubahan iklim berarti iklim telah berubah, tidak seperti kebiasaan umum. Namun perlu diketahui bahwa ada suatu fenomena yang juga terjadi di muka bumi ini yaitu variabilitas iklim. Sangat sulit untuk menentukan suatu kejadian ekstrim akibat dari adanya perubahan iklim karena kejadian ekstrim itu biasanya dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor. Artinya bahwa ketika perubahan iklim itu pun tidak terjadi, tidak menutup kemungkinan sebuah kejadian ekstrim tidak dapat terjadi.

Mengingat kejadian La Nina pada tahun 2010 yang mengakibatkan wilayah Indonesia secara umum mengalami musim hujan sepanjang tahun, hal ini belum dapat dipastikan sebagai akibat dari adanya perubahan iklim. Kondisi ini lebih dapat dijelaskan oleh adanya variabilitas iklim. Artinya iklim itu bervariasi, tidak konstan. Jika perubahan iklim menandakan iklim yang berubah dan tidak akan kembali lagi seperti dahulu kala maka variabilitas menandakan perubahan yang hanya sementara dan akan kembali ke keadaan semula.

Perubahan iklim niscaya akan mengakibatkan bencana yang sangat besar di masa depan jika kondisi suhu rata-rata muka bumi terus meningkat. Peningkatan suhu ini lebih kita kenal sebagai pemanasan global. Beberapa daerah telah menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata tahunan. Misalnya saja Wamena Papua yang merupakan daerah pegunungan yang dingin dengan suhu rata-rata 25.97 0C mengalami peningkatan suhu sebesar 1.38 0C/10 tahun. Hal ini menandakan bahwa jika pemanasan terus terjadi maka dalam 40 tahun yang akan datang, panasnya Wamena akan sama seperti panasnya Jakarta saat ini.

Konsentrasi Karbon Dioksida (CO2) juga menunjukkan kecenderungan peningkatan. Menurut WMO Greenhouse Gas Bulletin, jumlah CO2 di atmosfer mencapai 393,1 ppm pada 2012, atau meningkat 141% dari konsentrasinya di masa pra-industri. Tingkat perubahan yang sangat dramatis ini diketahui akibat aktivitas manusia dan belum pernah terjadi selama ini. CO2 merupakan gas rumah kaca yang dapat tinggal di atmosfer hingga 80 - 120 tahun. Walaupun potensi pemanasan global CO2 tergolong lemah namun karena jumlahnya banyak maka tentu saja keberadaan gas ini secara berlebih dapat sangat mengancam kenyamanan bumi kita. 

Perubahan iklim telah tercatat benar terjadi. Perubahan iklim di masa lampau merupakan fenomena yang alami sedangkan kebanyakan perubahan pada 50 tahun terakhir ini lebih disebabkan oleh aktivitas manusia. Manusia mempercepat terjadinya perubahan iklim melalui aktivitas yang tidak bersahabat dengan alam semisal pengrusakan hutan. Manusia melakukan aksi maka alam akan bereaksi.

Menyadari hal tersebut maka perlu dilakukan upaya bersama dalam adaptasi dan mitigasi untuk menanggulangi dampak yang semakin besar. Kejadian dan bencana yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pengingat bagi kita bahwa bumi kita saat ini berada pada kondisi “sakit”. Berbagai bencana yang menimpa jangan hanya diterima sebagai dampak perubahan iklim tanpa adanya kesadaran mendalam tentang kesalahan manusia di dalamnya. Mari kita memaknai perubahan iklim sebagai “akibat” bukan “penyebab”. Jadi mulai sekarang, berhenti mengkambinghitamkan perubahan iklim. Mari melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk mengurangi dampaknya hari ini dan di masa yang akan datang. 

*ditulis sebagai syarat kelulusan diklat PMG Fungsional Ahli angkatan VI tahun 2015

Selasa, 19 Januari 2016

The Weather’s not Guilty

Hi. My name is Risnayah. My hobby is traveling. The day was cold when my friends and I started climbing the Mount Sumbing in Wonosobo, Central Java, Indonesia. This mountain is so bare and pretty hard to pass. When I arrived in post 3, I left my backpack in the bush and covered it with raincoat. I did this on purpose to lightened my load to the summit.

In the afternoon, the clouds began to grow large. The sky seemed to be shedding tears soon. I speed up my pace. We met other climbers who rushed down the mountain. “The summit is still far away. You have to immediately go down”, they said. We were confused. But we encouraged our selves to still reach the peak. It would be something different if we didn’t reach the top.

I was disappointed at the summit. I couldn’t enjoy the view of the Mount Sindoro (known as the wife of Sumbing), Merapi and Merbabu which can be seen from there. Everything was white, covered with clouds.

When we descend, heavy rain and strong wind came. It directly hit my small body. I remembered my raincoat that I left before. "Oh my God", I said. The wind was up to the skin. It was freezing. I was shivering. Visibility was only a few steps ahead. No place to hide. We kept going and had to immediately get to the climbing post before nightfall. Inconceivable on a dark night, cold, rainy, and stormy, I was still in the mountain. It must be a nightmare.

About 8 pm, we arrived at the base. Rain and strong wind didn’t subside as well. The post-climbing guard had been worried. He said that the storm was coming often uncertain lately. Fortunately, we all saved.

It must be admitted that he was right. It was our fault. Tropical climate spoiled us so we were less concerned on weather information. In fact, the weather becomes uncertain now. The wind and rain become stronger. This experience will be a valuable learning for me as an amateur mountaineer.


the sky seemed to be shedding tears sonn [foto by lioba]

*cerita ini merupakan kisah nyata dan ditulis dalam rangka mengikuti lomba penulisan cerpen bertema cuaca dalam kehidupan sehari-hari pada peringatan Hari Meteorologi Dunia 23 Maret 2014 di BMKG Pusat

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...