laman

Selasa, 31 Juli 2012

Karena Hidup adalah Pilihan

Ku pandangi lekat-lekat sosok pria berbaju hitam di bawah sana. Warna kulitnya hampir menyamai warna bajunya. Dari gelagat dan rupanya, siapa pun tahu bahwa ia seorang anak pesisir pantai. Pundaknya lebar dan tubuhnya bidang. Ia tampak menonjol dari kerumunan orang-orang di dek kapal dengan badannya yang tinggi. Tangannya tampak sangat kuat dengan kardus di kedua tangannya. Rambutnya cepak potongan tentara. Aku perhatikan, sepertinya ia sedang mencari-cari seseorang. Menoleh kesana kemari. Matanya terhenti ke arahku. Ia menaiki tangga itu satu demi satu dan semakin mendekat ke arahku. Lalu tiba-tiba ia memukulku.
“Heh! A foratoko mina kala nokodoho garaa! Sa cari-cari ko dari tadi!” Ucapnya dengan nada keras tanpa emosi.
“Hehe. Maap sabangka. Sa cuma mau liat-liat keramaian ini. Pedahae? Sudah naek mi semua barangmu?”
“Umbe. Ini semua barang titipan sama oleh-oleh. Semua sudah beressss.” Ucapnya penuh semangat.
Lagi, ku pandangi ia lekat-lekat. Ia begitu senang dan bersemangat. Aku tahu bahkan sangat tahu. Ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk sampai di sini. Dulu, ketika ayahnya sakit keras, mereka tidak mempunyai uang. Ia harus bekerja untuk menghidupi ayah, ibu dan kedua adik perempuannya. Ia juga tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit-sakitan di rumah. Karena itulah ia tidak dapat menggapai cita-citanya. Dan saat sekarang, saat ayahnya telah sehat dan kembali bekerja, yang menghalangi cita-citanya adalah umurnya. Umurnya sudah tidak memenuhi syarat. Ia pasrah. Ia hanya bisa menitipkan cita-citanya padaku. Padaku yang ia anggap seperti adik laki-lakinya sendiri. Begitulah yang ia katakan kepadaku.
Aku sangat senang melihat senyum lebarnya saat itu. Aku sangat tidak ingin menyakiti hatinya. Aku tahu bagaimana berartinya ia bagiku. Ia adalah sahabatku. Bahkan sudah ku anggap kakakku sendiri. Ia lima tahun lebih tua dariku. Hobinya adalah berpetualang. Prestasi akademiknya tidak sebaik aku. Bagi dia yang memiliki impian merubah dunia, saat kau ingin merubah dunia maka jadilah seorang yang besar. Peganglah kekuasaan. Ia sangat ingin merubah dunia. Dialah La Suhairi. Orang-orang biasa memanggilnya Suha. Aku sangat mengenalnya. Aku lebih mengenalnya daripada orang lain.
“Januuuu, ko nda dengar apa sa bilang kah?”
“Eh? Pedahae?” Jawabku kaget.
Dia mengerutkan dahi, “Dari tadi sa perhatikan ko melamun terus. Apa yang ko pikirkan kah? Harusnya ko semangat to.”
“Hehe. Iya, maaf.”
“Jadi, berkas-berkasnya sudah ko bawa mi semua to?”
“Sudah mi” Jawabku menenangkan.
Memang benar. Memang benar akhir-akhir ini aku banyak melamun. Banyak menimbang-nimbang. Menggunakan akal dan perasaanku. Berpikir dan terus berpikir. Hidup ini adalah pilihan itu memang benar. Bagaimana aku hari esok adalah konsekuensi dari pilihanku hari ini. Seperti itulah yang dikatakan inaku kepadaku. Oleh karenanya aku tidak mau salah memilih. Sungguh tidak mau.
***
Namaku Janu. Hobiku bermain teka-teki dan membaca. Aku selalu baris di barisan terdepan saat apel pagi. Usiaku saat ini 18 tahun. Aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas dari SD hingga SMA. Aku pernah menjuarai lomba cepat tepat matematika tingkat Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara saat duduk di kelas 2 dan 3 SMP serta saat duduk di kelas 1, 2 dan 3 SMA. Begitu juga dengan ilmu sains lainnya. Aku memang sangat suka pada ilmu sains. Kata guru matematikaku, aku anak yang jenius. Entah beliau berlebihan atau tidak. Tapi itulah yang dipercayai oleh teman-temanku. Mereka selalu bertanya kepadaku tentang hal-hal yang mereka tidak ketahui. Padahal aku sendiri pun sebenarnya tidak begitu mengetahuinya. Tapi yang membedakan aku dengan mereka adalah aku mau mencari tahu. Setelah tahu barulah aku sampaikan kepada mereka. Karena itu, mereka juga ikut-ikutan menganggapku si jenius.
Menurut pandanganku, aku bukanlah anak jenius. Hanya saja aku selalu ingin tahu dan mau mencari tahu. Aku masih ingat waktu duduk di bangku SMP, hanya karena saat itu aku dapat menjawab soal matematika kelas 3 SMA, semua warga desa heboh. Sampai-sampai jadi pembahasan warga desa saat itu. Pikirku mereka terlalu berlebihan. Tapi begitulah keadaan warga pesisir. Seorang anak dapat membaca saja itu sudah lebih baik. Apalagi jika seorang anak itu pandai matematika maka itu jauh lebih baik.
Dari kecil aku sering diceritakan oleh inaku tentang dunia luar, tentang alam semesta, tentang fenomena-fenomena alam, tentang sains dan teknologi. Tapi aku hanya sekedar berkhayal tentang hal itu. Aku belum pernah melihatnya. Dan bagaimana aku bisa pandai seperti ini, jangan tanyakan siapa yang mengajariku. Karena pelakunya adalah inaku. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang ulet dan berwawasan luas.
***
Sepanjang perjalanan dari Raha menuju Kendari, aku terus saja diam dan memperhatikannya. Masih berpikir. Aku sungguh-sungguh tidak ingin melukai hatinya. Aku sangat menghormati dan menghargainya. Ku lihat ia sedang tertidur pulas sekali. Ku perhatikan bekas luka di balik telapak tangannya. Sudah lama sekali. Sudah lama kira-kira 10 tahun yang lalu.
            Masih ku ingat waktu itu aku duduk di kelas 2 SD. Ketika pelajaran bahasa Indonesia sedang berlangsung, ia memanggilku dari luar jendela kelas. Aku menoleh ke luar jendela. Ia menunjukkan aku bagaimana piawainya ia memainkan layang-layang. Entah kenapa aku sangat senang melihatnya. Rasa sedih karena ditinggal mati oleh idhaku 2 minggu yang lalu sejenak terlupa. Aku keluar kelas diam-diam dan mengikutinya. Sepanjang siang yang terik itu kami bermain layang-layang.
Sayangnya ketika aku yang baru pertama kali memainkannya, layangannya malah putus. “Duh, bagaimana ini?”, ucap pikirku. Aku merasa sangat bersalah. Aku melihat ke arahnya untuk menebak apa yang akan ia lakukan padaku. Ku pikir ia akan marah padaku. Ternyata ia tersenyum dan menarik tanganku. Katanya saat itu, “Mari kita buat yang baru”.
Ia mengajakku ke Hutan Semut. Dinamakan Hutan Semut karena orang-orang yang masuk ke hutan ini selalu mendapat serangan semut alias digigit ribuan semut hingga tubuhnya merah-merah.
            “Bambu di hutan ini yang terbaik.” Ucapnya dengan mata berbinar.
“Coba lihat, ada banyak sisa-sisa bambu bekas diambil orang to.” Ia berkata sambil menunjuk kerumunan pohon bambu di hadapan kami.
“Oh iya, kita kan nda bawa parang. Hmmm..... Kalau begitu, pake ini saja.” Sambil mengangkat tangan kanannya, “Tanganmu bisa melakukan banyak hal bahkan untuk memotong bambu ini.” Ia mengucapankannya sambil tersenyum.
            Dengan cepat ia mulai mematahkan bambu tersebut. Aku hanya diam memperhatikannya. Sedikit demi sedikit ia berhasil mematahkannya namun bambu itu belum dapat lepas. Ia memutar dan menarik-nariknya dengan sekuat tenaga. Dan akhirnya berhasil. Dia menoleh padaku dengan memasang muka ketus. Pikirku saat itu ia berkata, “Mudah sekali to?”
            Ia diam dan memperhatikan. Katanya bambu itu kurang bagus. Ia mengulangi hal yang sama pada batang bambu berikutnya. Ketika ia sedang menarik-nariknya, tiba-tiba ribuan semut dari bilah-bilah bambu menyerangnya. Ia tersentak dan berlari kesana kemari sambil menggaruk-garuk tubuhnya. Sontak aku tertawa terbahak-bahak melihatnya. Aku tidak bisa menahan tawa. Ia terus saja berlari kesana kemari hingga BRUUUKKKK. Ia terjatuh ke depan. Lututnya berusaha menahan berat tubuhnya dan ke dua tangannya pun berusaha menahan tubuhnya agar tidak terjerembab ke tanah. Saat itu aku meringis. Aku ketakutan dan tercengang. Ku lihat tangannya penuh dengan darah. Tangannya bertumpu pada tempat yang salah. Baru saja tangannya bertumpu pada sisa batang bambu bekas potongan parang. Runcing dan tajam. Batang bambu itu seolah-olah keluar dari telapak tangannya.
Aku bingung harus bagaimana. Ia mulai mengerang menahan sakit dan menarik tangannya sendiri. Aku tertegun dan masih saja bingung apa yang harus aku lakukan. Tangan kirinya menarik-narik lengan seragam sekolahnya. Dengan bantuan giginya, akhirnya seragam sekolahnya sobek. Ia membungkus tangannya dengan kain sobekan itu. Aku tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa melihat apa yang ia lakukan.
Dengan cepat, ia lalu menarik tanganku dan berlari keluar Hutan Semut. Ia langsung menuju ke rumah suster Anjari. Ibu Anjari berkata bahwa luka yang dialami oleh Suha sangat fatal. Darah terus saja mengalir. Namun penanganan pertama yang dilakukan cukup baik sehingga darahnya tidak banyak keluar. Akhirnya ibu Anjari membersihkan luka di telapak tangan suha dan menjahitnya. Ia melakukannya dengan alat dan bahan yang terbatas. Aku sangat berterimaksih pada beliau karena dengan bantuannya, hingga sekarang, tangan Suha baik-baik saja.
Aku sangat bersyukur atas itu. Apalagi pada waktu itu perasaan bersalah dan berdosa terus melandaku. Karena pikirku pada awalnya semua itu terjadi karena salahku. Karena aku merusak layangannya maka kami pergi ke Hutan Semut. Lalu saat ia diserang oleh ribuan semut aku tidak menolongnya sama sekali malah menertawainya. Dan lihatlah akhirnya. Tangannya terluka. Dan ia menangani semuanya sendiri. Aku hanya diam gemetaran. Aku benar-benar payah. Tapi, aku beritahu kepadamu, saat itu hingga sekarang, ketika aku meminta maaf atas kejadian di Hutan Semut itu, ia tidak menyukainya. Ia berkata, ia tidak pernah marah padaku dan ia tidak pernah menyalahkanku atas kejadian waktu itu.
***
Pelabuhan Torobulu Kendari sudah di depan mata. Aku tidak tidur sejak berangkat dari Tampo tadi. Sudah ku bilang aku terus berpikir. Karena ini masalah penting. Ini masalah yang menyangkut masa depanku. Masalah penting yang menentukan seperti apa aku hingga 50 tahun yang akan datang. Aku tidak bisa tidak memikirkannya. Aku terus memikirkannya akhir-akhir ini. Karena sungguh aku sedang dalam dilema. Aku benar-benar tidak ingin melukai hatinya. Tapi aku juga tidak ingin membohongi diriku sendiri.
Suara riuh orang-orang yang mulai bergegas mengangkat barang-barang, menyadarkanku dari lamunan. Aku membangunkannya.
“Oh, sudah sampai kah?”
Kataku iya membenarkan.
“Kalau begitu, cepat mi pale. Ada mi La Hadi di depan itu tunggu kita.” Sepupunya, Hadi, sebelumnya sudah dikabarkan kepadanya bahwa kami akan datang ke Kendari untuk melakukan pendaftaran Akademi Militer TNI AD. Ia menjemput kami di pelabuhan karena terus terang ini untuk pertama kalinya kami ke Kendari. Kami tidak tahu apa-apa.
Hadi sudah ada di pelabuhan menunggu kami. Aku berjalan lambat membiarkan Suha berjalan duluan dan disambut sepupunya. Mereka saling menanyakan kabar dan tampak akrab. Lalu aku melihat ada sedikit kecanggungan saat ia menoleh padaku dan menunjukku. Pikirku, Suha pasti sedang meminta izin kepada sepupunya agar sepupunya juga menerima aku di rumahnya. Lagi-lagi, aku menyusahkan Suha dan keluarganya.
***
Aku sudah melakukan pendaftaran di Ajen Korem Kendari ditemani oleh Suha dan Hadi. Pendaftaran sudah selesai tapi kami belum mau pulang ke desa dulu. Kami berencana melihat-lihat suasana kota Kendari selama dua hari ke depan.
Keesokan harinya Suha dan Hadi mengajakku jalan-jalan ke Mall Mandonga. Tapi aku berkata tidak, aku mau melakukan hal lain saja. Terus terang, hari ini aku berniat untuk melakukan pendaftaran AMG. Aku tidak ingin Suha mengetahui hal ini karena aku tidak ingin menyakiti hatinya. Walau sebenarnya aku tidak tahu jalan tapi aku percaya pada peribahasa ‘malu bertanya sesat di jalan’. Dan akhirnya aku berhasil.
***
Internet baru saja masuk ke sekolahku. Semua murid merasa senang. Walaupun sebenarnya, tidak semua murid dapat menggunakannya karena perangkat komputer yang tersedia cuma 5 buah.
Aku sendiri tidak mengerti bagaimana cara menggunakannya. Aku takut salah menggunakannya. Tapi kata ina, jika kamu selalu takut salah, kamu tidak akan bisa maju.
Aku memanfaatkan sisa-sisa waktuku di SMA ini dengan menghabiskan waktu di ruang Bapak Wakil Kepala Sekolah yang juga merupakan guru matematikaku. Beliau sangat baik padaku. Beliau mengizinkan aku menggunakan komputer di ruangannya dan mengajarkan padaku bagaimana cara menggunakannya. Hahaha... Aku masih merasa lucu jika membayangkan diriku saat itu. Seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. Aku benar-benar terpukau. Aku rasa, aku bisa mengetahui apa saja dari benda sekecil ini.
Aku fokus mencari informasi beasiswa universitas. Aku yang dari keluarga sangat sederhana ini berharap dapat bersekolah gratis. Aku membuka sebuah websites yang isinya adalah daftar sekolah tinggi kedinasan. Menarik. Ada banyak sekolah-sekolah yang baru aku ketahui. Aku membukanya satu per satu dan aku terhenti lama memperhatikan layar komputer itu pada websites http://www.amg.ac.id/.
Ku baca baik-baik websites ini. AMG ternyata merupakan sekolah kedinasan yang memberikan pengajaran pada bidang meteorologi, klimatologi dan geofisika. Aku sangat tertarik pada salah satu bidang tersebut yakni meteorologi. Masih ku ingat waktu duduk di kelas 1 SMA, aku mendapatkan pelajaran meteorologi ini dalam mata pelajaran geografi. Entah mengapa aku sangat tertarik. Mungkin karena ilmu ini berbau sains. Masih ku ingat apa yang dikatakan guru geografiku saat itu. Ia berkata bahwa dalam meteorologi ini ada yang dikenal dengan istilah prediksi cuaca. Prediksi ini masih sulit dilakukan karena alam itu cepat berubah dan sulit ditebak. Inilah yang masih menjadi penelitian para ahli meteorologi. Begitulah yang dikatakan beliau. Aku jadi penasaran saat itu. Dan aku setuju dengan apa yang dikatakan beliau. Karena aku pernah mengalaminya ketika masih kecil. Aku tidak ingin peristiwa yang terjadi pada idhaku terulang lagi. Aku ingin kami yang hidup dengan bergantung pada alam ini, dapat hidup baik dan selaras dengan alam. Oleh karena itu, aku tertarik untuk mendalami bidang ini.
Aku membaca artikel penerimaan taruna baru AMG tahun akademik 2012/2013. Pendaftarannya sudah dibuka sejak 1 bulan yang lalu. Ku baca persyaratannya baik-baik dan berulang-ulang. Aku memenuhi syarat calon taruna. Aku lihat lokasi tesnya. Sukurlah ada di Kendari. Aku kemudian mencatat hal-hal penting yang harus aku persiapkan.
***
Aku pernah memperhatikan inaku sekali-kali di waktu subuh. Ia keluar membuka pintu rumah dan menghirup udara segar. Memandang langit untuk beberapa menit dan kembali ke dalam rumah menyiapkan makanan.
Hari itu beliau berkata padaku, “Nanti pulang jang singgah-singgah. Langsung pulang. Jang lupa bawa payung. Kalau kehujanan, ko bisa sakit. Bajumu juga nda bisa dipake lagi besok itu kalau sampai basah.”
Aku merasa aneh, “Masa mo hujan sebentar Ina? Cerahnya mi ini hari.”
“Yang jelas ko nda boleh kehujanan!”
Pagi itu aku berangkat ke sekolah tanpa membawa payung. Dan benar, ketika pulang, hujan turun dengan derasnya. Ku perhatikan seragam putih biruku satu-satunya. Kalau ini basah, besok aku tidak bisa ke sekolah. Beberapa lama menunggu sampai hujan reda, inaku tiba-tiba datang menjemput. Membawakanku payung. Aku merasa tidak enak. Aku teringat apa yang dikatakan ina kepadaku pagi tadi.
“Kenapa payungnya nda dibawa jan?” Beliau membuka pembicaraan.
“Aesalo maafu ina.” Aku meminta maaf kepada beliau.
Aku jadi penasaran sekarang, kenapa ina bisa tahu kalau siang ini akan turun hujan.
“Ina, pedahae ina pandehane o ghuse panda goleo aini garaa?”
“Ina cuma mengira-ngira, sayang.”
“Bagaimana caranya ina?”
Beliau tersenyum. Beliau tahu aku selalu ingin tahu. Beliau berkata “Coba sekali-kali Janu perhatikan kondisi dan gejala-gejala yang tampak di alam.”
“Yang mananya?”
“Coba lihat awan itu.” Ucapnya sambil menunjuk langit yang masih menumpahkan air, “Kalau awannya seperti itu, kemungkinan besar akan turun hujan.”
“Tapi kan ina bilangnya mo hujan tadi pagi. Padahal tadi pagi cerah sekali.”
Beliau kembali tersenyum, “Coba Janu rasakan hembusan angin. Kalau ada angin lemah yang datang dari arah barat atau barat daya, kemungkinan hujan atau gerimis akan tiba. Janu juga bisa perhatikan kondisi matahari. Kalau waktu terbit warnanya merah tua lalu ada awan gelap maka kemungkinan akan turun hujan.”
Aku terheran-heran mendengarnya. Kok bisa ya? Lalu aku kembali bertanya.
“Nembali peda aitu ina?”
“Ina juga belum tahu, sayang.” Beliau mengucapkannya sambil tersenyum.
Ucapan beliau yang terakhir ini membuatku tidak bisa bertanya lagi.
Beliau melanjutkan, “Sebenarnya ina agak sedikit bingung akhir-akhir ini. Cuaca sekarang sulit ditebak. Teman-teman idhamu juga pada bingung. Makanya sekarang itu banyak yang rugi. Bagaimana tidak? Ikan yang domorang dapat hanya sedikit. Malah ada juga yang nda dapat ikan sama sekali.”
“Pernah juga kejadian,” beliau melanjutkan lagi, “anginnya kencang sekali. Langit mendung. Nda ada yang mau turun di laut. Dikira mau hujan deras sama gelombang tinggi. Eh padahal tidak ada. Akhirnya nelayang-nelayan rugi. Tempat yang biasa banyak ikannya juga tiba-tiba jadi sedikit sekali. Rugi lagi. Itu mi nelayan-nelayan sekarang suka mengeluh nda bisa menebak kondisi alam. Padahal nelayan kecil kayak idhamu juga sangat tergantung sama alam.”
Aku ikut memikirkannya. Aku juga kebingungan. Tapi aku punya rasa ingin tahu yang besar sekali. Aku mencoba mencari jawabannya di buku-buku perpustakaan SMP. Nihil. Tidak ada. Buku di perpustakaan SMP memang sangat terbatas.
Aku menanyakannya pada Suha. Mungkin saja di perpustakaan sekolahnya ada. Karena biasanya, perpustakaan SMA jauh lebih baik dibandingkan SMP. Kata Suha ia akan mencarikannya untukku.
Dua hari berlalu, Suha datang kepadaku dengan membawa sebuah buku yang berjudul ‘Rahasia Alam dan segala Fenomenanya’. Aku segera mencari tahu segala pertanyaanku selama ini. Aku membacanya baik-baik dan memprosesnya ke dalam otakku. Aku mulai memahaminya sedikit demi sedikit.
Setelah selesai membaca semua lembar di buku itu, aku mendatangi Suha untuk mengembalikannya. Namun ketika sampai ke rumahnya, aku mendengar kabar dari adiknya bahwa Suha masih berada di sekolah karena ia baru saja berulah lagi. Suha mencuri buku di perpustakaan Balai Desa. Aku tidak mengerti. Aku segera berlari ke sekolahnya dan mendapatinya sedang dimarahi oleh seorang pria.
“Berani sekali kamu mengambil buku di Balai Desa tanpa izin! Lebih-lebih kamu masuk lewat jendela!”
“Maaf, Pak. Saya nda bermaksud mencuri. Saya cuma pinjam buku itu, Pak.”
“Apa mengambil barang tanpa meminta izin itu sama saja dengan meminjam? Kamu ini anak SMA tapi bertingkah nda pake otak. Mau jadi apa anak muda zaman sekarang.” Keluh bapak itu dengan suara bernada sedih.
“Maaf, Pak. Sumpah, Pak. Saya nda bermaksud mencurinya. Saya pasti akan mengembalikannya.”
Aku mengerti sekarang. Aku mengerti apa yang terjadi. Ternyata buku yang Suha berikan padaku adalah buku yang ia ambil di Perpustakaan Balai Desa. Ia mengambilnya tanpa izin karena saat itu adalah hari libur. Tidak ada orang di Balai Desa. Ia hanya bermaksud meminjamnya dan akan mengembalikannya lagi. Tapi hal itu tidak berjalan sesuai rencana karena ada orang yang melihatnya mengambil buku itu dan melaporkannya kepada kepala Perpustakaan Balai Desa.
Aku lagi-lagi merasa bersalah. Aku menempatkannya pada keadaan sulit. Selalu seperti itu. Semua yang ia lakukan adalah demi aku. Ia bahkan rela melakukan hal yang berbahaya demi memenuhi inginku. Aku semakin menghormatinya. Aku semakin menyayanginya. Ia sangat berarti bagiku.
***
Nama lengkapku adalah La Ode Januar. Teman-teman sering memanggilku Jenderal Janu. Bukan tanpa alasan. Ini karena Suha yang selalu memanggilku dengan nama itu. Ia pun mengumbarnya dimana-mana. Katanya aku akan menjadi seorang Jenderal TNI AD. Ia selalu menyuruh orang-orang di desa untuk menghormatiku karena kata dia, aku adalah calon Jenderal masa depan. Ini bukan sekedar guyonan Suha. Dari aku kecil, ia selalu menceritakan padaku tentang cerita-cerita kepahlawanan para prajurit TNI. Ia berkata bahwa kelak ia pun akan masuk TNI. Namun sayangnya kesempatan itu tidak ia dapati. Ia sangat berharap padaku agar aku dapat mewujudkan cita-citanya itu. Ia menaruh harapan besar padaku karena ia sudah menganggap aku sebagai adik laki-lakinya sendiri.
Suha sangat yakin bahwa aku akan lolos seleksi Akademi Militer. Ia bahkan memberikan sebagian uang tabungannya untuk ku gunakan dalam keperluan seleksi. Inaku tidak banyak berkomentar dan hanya mendukung saja. Karena baginya hidupku adalah pilihanku. Kata ina, aku bisa menjadi apa saja yang aku inginkan karena aku anak yang pandai. Beliau tidak akan memaksaku. Beliau pun akan selalu mendukungku.
***
Ujian Akhir Nasional telah selesai aku lalui. Benar-benar merupakan hari yang sangat menentukan perjuangaku selama tiga tahun di SMA. Sekarang aku bisa fokus memikirkan tes ujian masuk Akmil dan AMG yang sebentar lagi akan aku hadapi. Pada akhir bulan April, aku dan Suha kembali melakukan perjalanan laut ke Raha kemudian lanjut ke Kendari. Tes tahap pertama akan berlangsung di awal Mei nanti. Semua sudah siap hanya batinku saja yang masih dalam dilema. Pada saat melaksanakan tes tahap pertama ujian masuk AMG, aku tidak memberitahukannya pada Suha. Karena seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak ingin melukai hatinya. Aku tahu ia sangat ingin aku masuk Akmil. Ia selalu yang paling sibuk ketika aku akan melakukan pendaftaran maupun tes. Karena kata dia, cita-citanya saat ini adalah mengantarkan aku menjadi seorang Jenderal. Seorang Jenderal yang merupakan cita-citanya yang tidak dapat terwujud.
***
Aku ingin menceritakan lagi bagaimana aku sangat berutang budi kepada Suha. Ini menyangkut cerita tentang idhaku. Di kampungku, idha adalah panggilan untuk ayah. Idhaku sendiri adalah seorang pria yang hebat. Berangkat melaut pada dini hari dan pulang di pagi hari. Ikan hasil tangkapannya beliau serahkan kepada tangan ke dua untuk dijual di pasar. Dengan bekerja sebagai nelayan, beliau memberikan penghidupan yang layak bagi kami. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Sebelum laut menutup kisahnya.
Saat itu aku berusia 8 tahun. Selama satu bulan terakhir beliau sering berada di rumah dan mengeluhkan kondisi cuaca yang tidak menentu. Tentu saja beliau tahu baik hal itu karena beliau adalah seorang nelayan yang belajar dari ribuan pengalamannya. Sebenarnya aku sangat senang karena aku bisa menghabiskan waktu yang panjang bersama idhaku. Namun aku tidak melihat kesenangan yang sama di wajah idha. Bukan karena beliau tidak suka bersama denganku tapi karena keadaan keuangan rumah tangga yang semakin menipis karena idha yang selama satu bulan ini sudah jarang melaut.
Idha sering menyesali saat dimana beliau memutuskan untuk tidak melaut karena beliau pikir akan terjadi cuaca buruk saat itu dan gelombang laut akan sangat tinggi. Namun apa yang terjadi? Yang terjadi adalah tidak sama sekali. Beliau kelihatan bingung karena tidak dapat memprediksi kondisi cuaca dengan baik. Bukan karena beliau tidak tahu tapi kondisi cuaca memang sedang tidak menentu dan cepat berubah.
Suatu malam idha memutuskan untuk pergi melaut sendirian karena nelayan-nelayan yang lain enggan untuk turun ke laut. Mereka memprediksi bahwa gelombang masih akan tinggi. Tentu saja hal ini berarti bahaya bagi para nelayan. Tapi idha berpikir saat itu bahwa mungkin saja perkiraan teman-temannya kali ini salah seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Beliau memberanikan diri melaut sendirian karena keadaan keuangan yang cukup mendesak saat itu. Ina melarang beliau namun tetap saja beliau bersikeras. Beliau berkata, beliau tidak akan melaut jauh-jauh. Cukup di sekitar pantai saja.
Apalagi yang harus dikatakan inaku. Beliau tidak dapat menahan idha. Akhirnya pada dini hari di hari Minggu itu, idha berangkat seperti biasa. Ina masih saja berusaha mengurungkan niat beliau namun sia-sia. Ina hanya bisa pasrah dan mendoakannya selamat.
Pada pagi harinya, aku perhatikan awan begitu tebal di atas kami dan suasana begitu gelap. Padahal subuh tadi masih terlihat banyak bintang di langit. Kami melihat ke arah laut. Suasana di sana jauh lebih gelap. Angin terasa memukul-mukul pundakku dengan kerasnya. Aku seolah-olah akan terdorong ke depan. Apa yang terjadi, pikirku.
Aku mendengarkan percakapan teman-teman idha. Kata mereka, hujan yang sangat deras akan turun sebentar lagi. Gelombang juga akan sangat tinggi. Aku belum begitu mengerti saat itu. Namun aku tahu bahwa ini sesuatu yang berbahaya karena inaku tampak sangat resah. Beliau berjalan mondar mandir. Beberapa kali pergi ke rumah Kepala Desa untuk meminta pertolongan. Inaku ingin agar kepala desa mengerahkan para warga untuk turun di laut menjemput idha. Tapi kepala desa menolaknya. Dalam keadaan seperti ini, menyuruh warga untuk turun ke laut adalah tindakan tidak masuk akal, kata beliau. Itu sama saja mengantarkan mereka semua dalam bahaya. Pak kepala desa meminta ibu untuk tetap tenang dan menunggu keadaan sedikit membaik. Setelah itu barulah beliau akan mengerahkan para warga untuk turun ke laut.
Di luar, teman-teman idha mulai berdiskusi tentang kondisi cuaca yang terjadi saat itu. Kata mereka ada keanehan yang terjadi saat itu. Harusnya pada jam-jam segini, angin laut sudah mulai bertiup sehingga idhaku bisa segera pulang. Namun yang terjadi, angin darat masih saja bertiup kencang. Hal ini mengakibatkan idhaku kesulitan untuk pulang. Apalagi perahu idha adalah perahu kecil. Bisa jadi perahu idha makin terbawa angin dan arus hingga semakin menjauhi daratan. Mereka hanya berharap agar idhaku dapat kembali dengan selamat.
Ina tampak semakin resah. Beliau bahkan nekat untuk turun ke laut menjemput idha. Tapi ibu-ibu tetangga melarangnya dengan keras. Kata mereka, ina harus memikirkan aku. Aku sedih berada dalam situasi itu. Kami hanya pasrah menunggu idha kembali. Namun hingga hujan mereda pada sore hari, idha belum juga kembali.
Sesuai janji, bapak Kepala Desa menggerakkan warganya untuk turun ke laut mencari idhaku. Hingga menjelang malam hari idhaku belum juga ditemukan. Pencarian dihentikan karena malam sudah semakin larut. Aku dan ina hanya bisa berdoa dan terus berdoa. Air mataku tiada henti-hentinya mengalir. Aku benar-benar ketakutan.
Kira-kira pukul 10 malam terdengar suara pintu digedor berulang-ulang. Ina membukakan pintu. Di hadapan kami, Suha sedang berdiri dengan keringat mengucur dari tubuhnya yang hitam dan suaranya yang ngos-ngosan.
“Tanta, cepat ikut saya! Ada idhanya La Janu di pantai sana!”
Inaku benar-benar tercengang. Beliau langsung berlari mengikuti Suha yang bertelanjang kaki. Aku pun mengikuti mereka dari belakang. Suha berlari sambil meneriakan, “idhanya La Janu sudah ketemu”. Para warga terbangun dan berlari keluar rumah. Mereka juga ikut berlari mengikuti Suha.
“Ne ini”, kata Suha sambil menunjuk sosok seorang pria yang terbaring lemah.
Ina jatuh tak berdaya dan menangis. Kata Suster Anjari yang saat itu juga datang, idhaku masih hidup. Masih ada nafas walau sangat lemah. Idha segera digotong oleh warga ke Puskesmas dan dengan cepat ditangani oleh Suster Anjari. Terus terang, tidak ada dokter di desa kami.
Ina mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Suha. Aku pun demikian. Aku benar-benar terpukau dengan apa yang ia ceritakan. Ia menceitakan bagaimana caranya sampai ia bisa menemukan idhaku kepada semua orang yang penasaran kepadanya. Ia berkata bahwa ia hanya terus mencari saja. Ketika idhaku tidak ditemukan di tengah laut, ia berpikir pasti idhaku sudah hanyut dibawa arus. Kalau begitu kemungkinan besar beliau terdampar di pinggir pantai karena saat itu arus bergerak menuju bibir pantai. Jika sampai ia tidak menemukannya juga maka kemungkinan besar idhaku terdampar di pulau seberang.
Aku memperhatikannya saat itu. Suha benar-benar hebat. Ia masih berusia 13 tahun namun sudah dapat melakukan hal sehebat itu. Aku benar-benar terpukau. Aku benar-benar berterima kasih padanya. Aku berutang budi padanya.
Sudah 2 hari ini keadaan idha belum juga membaik. Kami terus menunggui idha di Puskesmas. Rencananya esok pagi kami akan membawa beliau ke Rumah Sakit di pulau seberang. Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Idha meninggal dunia. Aku dan ina tidak kuasa menahan tangis. Saat itu bahkan ina pingsan ketika mengetahuinya. Kata suster Anjari, hal seperti ini memang mungkin saja terjadi. Kemungkinan besar akibat perubahan kimiawi dan biologi pada paru-paru idhaku setelah insiden nyaris tenggelam. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang nyaris tenggelam.
***
Pengumuman tes tahap pertama Akmil masih dua bulan lagi sedangkan pengumuman SIPENCATAR AMG tahap pertama telah keluar. Aku bergegas ke sekolah dan mencari pengumumannya di internet. Alhamdulillah aku lolos. Aku sangat senang sekali. Tahap pertama sudah berhasil aku lalui.
Selama perjalanan pulang dari sekolah, aku terus berpikir. Aku tidak bisa menyembunyikan hal ini lagi. Sebentar lagi aku akan ke Kendari untuk melakukan tes kesehatan dan wawancara. Alasan apa yang akan aku gunakan untuk pergi ke Kendari sementara pengumuman Akmil saja belum keluar.
Aku akan memilih. Aku akan memilih untuk meneruskan AMG dan menghentikan perjuanganku di Akmil. Aku akan memilih AMG. Aku akan mencoba menjelaskan hal ini pada Suha. Walaupun kenyataannya pahit. Tapi inilah mauku. Inilah inginku untuk masa depanku. Karena hidupku adalah pilihanku.
Sebelum aku bertemu Suha, aku mendiskusikan hal ini kepada ina. Kata beliau, ikutilah kata hatimu sendiri. Jangan melakukan sesuatu dengan terpaksa karena hal itu tidak akan bertahan lama. Hal itu akan menjadi beban yang akan kau tanggung seumur hidupmu.
Mendengar ucapan ina, hatiku semakin mantap. Dilema yang selama ini aku rasakan hilang dalam sekejab. Benar sekali apa yang dikatakan ina. Walaupun sangat berat bagiku untuk mengecewakannya, aku akan coba menjelaskan kepadanya. Ia pasti akan mengerti. Ia sudah menganggapku sebagai adiknya. Ia pasti mengerti perasaan adiknya ini.
Aku mendatangi rumah Suha yang berjarak 3 rumah dari rumahku. Aku menemukannya sedang membersihkan halaman depan rumahnya. Tampaknya suasana hatinya sedang sangat baik. Inilah waktu yang tepat, ucap pikirku.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam. Eh Jenderal Janu, Pedahae? Maimo, bantu inodi fekatahi deki halaman aini.” Ia memintaku membantunya membersihkan halaman rumahnya.
Aku menurutinya. Aku ingin menyenangkan hatinya. Setelah semua selesai, ia mengajakku naik ke rumah panggungnya untuk minum teh bersama. Ia menceritakan tentang pohon jati yang dieksplorasi secara berlebihan oleh orang-orang dari kota. Aku mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Aku hanya memberi komentar sekedarnya.
Saat ia sudah selesai bercerita, aku mulai membuka pembicaraan baru.
“O isa,” begitu aku memanggilnya, “Aesalo maafu kedae.”
“Maaf? Untuk apa?”
Aku diam. Diam beberapa lama. Mencari-cari kata yang tepat agar tidak melukai hatinya.
“Sa bingung mau menjelaskan bagaimana. Sa betul-betul tidak bermaksud melukai hatimu, isa.”
“Umbe kunai, foratomo.” Ia memintaku segera mengatakannya.
“Sebenarnya,” aku terdiam lagi, “sebenarnya sa daftar sekolah kedinasan lain selain Akmil. Sa sudah lolos seleksi tahap pertama.” Ucapku pelan sambil menundukkan kepala.
Aku menunggu responnya. Dia hanya diam. Diam memperhatikanku. Menunggu aku untuk melanjutkan pembicaraanku.
“Sa sudah pikir baik-baik. Sa sudah tanya mi juga inaku. Akhirnya sa berani datang ke sini. Sa ingin kasitau isa kalau...” aku diam sejenak, “sa ingin kasi tau isa kalau sa nda bisa masuk Akmil. Maaf. Tapi sa punya pilihan sendiri.”
Ia masih saja diam dan menatapku dengan serius.
“Demi Allah, sa nda ingin kasih kecewa isa. Sa juga berat sekali mau mengambil keputusan ini.”
Ia tersenyum kecil, “Memang pilihanmu apa?”
“Sa ingin masuk sekolah AMG. Akademi Meteorologi dan Geofisika.”
“Apa itu?”
“Sa ingin belajar tentang meteorologi. Tentang cuaca. Tentang alam. Isa kan tau kalau sa suka sekali dengan sains.”
Ia tertawa, “Kau mau jadi peramal cuaca?”
“Bukan begitu isa. Sa ingin jadi orang yang bermanfaat. Sa ingin berjalan di jalan yang telah sa pilih sendiri. Bukan karena sa nda percaya dengan apa yang isa pilihkan untuk saya. Tapi yang sa ingin adalah bisa memahami alam. Karena kehidupan orang-orang seperti kita ini sangat tergantung dengan alam. Bahkan ada jutaan orang di luar sana yang sama seperti kita. Sangat tergantung pada alam. Sa ingin kita bisa membaca dan memahami alam. Biar kita bisa menggunakannya untuk hidup yang lebih baik lagi.”
“Polos sekali kau. Kau tahu Janu, di dunia ini yang dibutuhkan adalah kekuatan dan kekuasaan. Mana mungkin kau mendapatkan itu di sekolah seperti itu?”
“Bukan itu yang sa cari isa. Sa nda muluk-muluk ji. Sa nda bisa paksakan sesuatu yang sa sendiri tidak begitu berminat. Sa takut kalau sa mulai bosan, akhirnya jadi beban. Sa ingin menjalani hidupku sesuai dengan pilihanku sendiri. Maaf isa. Tapi sungguh, sa yakin sekali ingin masuk di AMG saja.”
Ia tersenyum tipis lagi, “Apa nda lebih baik ko tes saja dua-duanya. Siapa tahu ko nda lolos di AMG.”
“Tidak isa. Nda usah. Kalo sa nda lulus tahun ini, tahun depan sa coba lagi. Nda usah mi sa lanjutkan tesku di Akmil karena sia-sia saja. Kalau pun sa lolos, sa tetap nda ambil ji isa. Buang-buang uang isa saja.”
Ia diam lagi. Tidak merespon.
“Sa minta maaf isa. Maaf sekali. Sa sudah kasih repot isa terus. Isa sampai antar saya ke Kendari. Pakai uang isa sendiri lagi. Maaf sekali isa.” Aku tertunduk. Tertunduk dalam.
“Ya mau diapa lagi. Sudah itu mi keputusanmu. Masa sa mo paksa ko.” Dia diam dan menatapku, “Nda papa Janu. Sa nda marah ji. Hidupmu adalah pilihanmu. Dimana pun kau berada pasti kau akan jadi orang sukses. Karena sa bisa liat itu di wajahmu.”
Aku diam. Air mataku menetes.
“Jang menangis dong. Masa anak laki-laki cengeng. Hahahaha......” Dia tertawa dengan sangat keras.
“Sudah... Sudah... Lanjutkan saja apa yang menjadi pilihanmu. Sa pasti akan selalu mendukung dan mendoakanmu, adikku.”
Ucapannya yang terakhir itu malah membuat air mataku mengalir lebih deras. Ia tidak marah. Ia tidak marah padaku. Aku benar-benar senang dan lega. Ia memang paling mengerti aku. Ia selalu mendukungku. Aku benar-benar menyayanginya. Aku benar-benar menghormatinya. Sungguh, aku tidak berbohong. Aku benar-benar menyayanginya.

THE END

Senin, 30 Juli 2012

Cara Merubah File Netcdf menjadi File Excel

Dalam meteorologi tersedia data-data meteorologi berformat netcdf yang berekstensi .nc. Misalnya data estimasi curah hujan satelit TRMM yang dirilis oleh NASA. Data ini sangat bermanfaat dalam penelitian maupun dalam pelayanan informasi meteorologi terutama untuk lokasi-lokasi yang tidak memiliki stasiun pengamatan, misalnya di lautan maupun daerah-daerah yang sulit dijangkau dengan alat konveksional.
Data berformat netcdf ini dapat diolah menjadi file excel dengan berbagai cara. Salah satunya dengan
menggunakan aplikasi panoply. Panoply sendiri harus didukung dengan java script pada komputer Anda. Jika Java Script belum ada maka Anda juga harus mengunduhnya terlebih dahulu.

Berikut ini langkah-langkah dalam merubah file berformat netcdf menjadi excel :
1. Jalankan aplikasi Panoply.
2. Running data .nc yang diinginkan.
3. Pada layar komputer anda akan muncul "Sources" kemudian klik kanan data yang anda ingin buka dan         klik pilihan export CSV.


4. Simpan dengan nama dan pada folder yang anda inginkan. Aplikasi Panoply selesai digunakan sampai           tahap ini.
5. Selanjutnya Anda harus membuka file CSV yang telah anda simpan sebelumnya.
6. File tersebut akan terbuka pada layar Microsoft Excell namun masih sangat sulit untuk digunakan karena       data antar bujur masih tergabung dalam 1 cell excel. Untuk memisahkan data antar bujur tersebut, Anda       harus merubah data CSV ini menjadi Excel.

Untuk Microsoft versi 2003 lakukan dengan cara berikut ini :
a. Pilih menu Data > Import External Data > Import Data
b. Pilih dan Import file (pastikan "files of type" terdaftar sebagai "all data sources")
c. Pada layar komputer anda akan muncul "Text Import Wizard".
d. Pilih "Delimited" dan klik "Next"
e. Pilih "Comma" dan klik "Finish"

Untuk Microsoft versi 2007 lakukan dengan cara berikut ini :
a. Pilih menu Data > Get External Data > From Text
b. Pilih dan Import file (pastikan "files of type" terdaftar sebagai "all data sources")
c. Pada layar komputer anda akan muncul "Text Import Wizard".
d. Pilih "Delimited" dan klik "Next"
e. Pilih "Comma" dan klik "Finish"

Semoga bermanfaat :)

Sumber :
http://wiki.answers.com/Q/How_do_you_Convert_CSV_files_to_Excel
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...