laman

Minggu, 14 Februari 2016

Stop Mengkambinghitamkan Perubahan Iklim

Ilustrasi [sumber: id.zulkarnainazis.com]
Berbagai bencana hidrometeorologi yang menimpa manusia sering dikatakan sebagai dampak perubahan iklim. Adanya perubahan pada iklim seakan menjawab pertanyaan mengapa banjir lebih sering melanda, mengapa musim kemarau berkepanjangan ataupun mengapa cuaca ekstrim sering terjadi. Perubahan iklim dianggap sebagai pelaku karena tidak ada pihak yang ingin menerima limpahan kesalahan. Pada sebuah bencana alam yang terjadi harus ada pihak yang bertanggung jawab secara tidak langsung. Masyarakat sukanya menyalahkan pemerintah yang melakukan pembangunan tidak tepat. Pemerintah yang telah bekerja menyalahkan masyarakat yang umumnya tidak peduli pada lingkungan. Pada akhirnya siapa yang salah, siapa yang tahu?

Peningkatan frekuensi kejadian cuaca/iklim ekstrim merupakan bagian dari efek perubahan iklim. Hal ini telah dibuktikan oleh data-data pengamatan dalam kurun waktu yang panjang. Kuantitas dan intensitas kejadian hujan lebat terus meningkat dan menyebabkan banjir. Hujan lebat di Sumatera Barat cenderung mengalami peningkatan 1.5 hari setiap tahunnya. Artinya dalam 10 tahun ke depan, frekuensi kejadian hujan lebat dapat bertambah 15 hari. Bayangkan saja, dengan kondisi hujan lebat yang sering terjadi saat ini sudah menyebabkan banjir dimana-mana, apalagi ketika frekuensi kejadian hujan lebat meningkat.

Perubahan iklim diketahui sebagian besar akibat aktivitas manusia. Dari hasil survei jajak pendapat yang diberitakan cbsnews.com, hanya 64 % orang Inggris dan Australia yang setuju dengan pernyataan tersebut. Orang Amerika bahkan hanya 54 % yang setuju. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat dunia tidak meyakini bahwa aktivitas manusia saat ini sebagian besar menyebabkan terjadinya perubahan iklim walaupun dengan beberapa bukti yang telah dipaparkan.

Definisi perubahan iklim belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Pengetahuan umum mengetahui bahwa perubahan iklim berarti iklim telah berubah, tidak seperti kebiasaan umum. Namun perlu diketahui bahwa ada suatu fenomena yang juga terjadi di muka bumi ini yaitu variabilitas iklim. Sangat sulit untuk menentukan suatu kejadian ekstrim akibat dari adanya perubahan iklim karena kejadian ekstrim itu biasanya dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor. Artinya bahwa ketika perubahan iklim itu pun tidak terjadi, tidak menutup kemungkinan sebuah kejadian ekstrim tidak dapat terjadi.

Mengingat kejadian La Nina pada tahun 2010 yang mengakibatkan wilayah Indonesia secara umum mengalami musim hujan sepanjang tahun, hal ini belum dapat dipastikan sebagai akibat dari adanya perubahan iklim. Kondisi ini lebih dapat dijelaskan oleh adanya variabilitas iklim. Artinya iklim itu bervariasi, tidak konstan. Jika perubahan iklim menandakan iklim yang berubah dan tidak akan kembali lagi seperti dahulu kala maka variabilitas menandakan perubahan yang hanya sementara dan akan kembali ke keadaan semula.

Perubahan iklim niscaya akan mengakibatkan bencana yang sangat besar di masa depan jika kondisi suhu rata-rata muka bumi terus meningkat. Peningkatan suhu ini lebih kita kenal sebagai pemanasan global. Beberapa daerah telah menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata tahunan. Misalnya saja Wamena Papua yang merupakan daerah pegunungan yang dingin dengan suhu rata-rata 25.97 0C mengalami peningkatan suhu sebesar 1.38 0C/10 tahun. Hal ini menandakan bahwa jika pemanasan terus terjadi maka dalam 40 tahun yang akan datang, panasnya Wamena akan sama seperti panasnya Jakarta saat ini.

Konsentrasi Karbon Dioksida (CO2) juga menunjukkan kecenderungan peningkatan. Menurut WMO Greenhouse Gas Bulletin, jumlah CO2 di atmosfer mencapai 393,1 ppm pada 2012, atau meningkat 141% dari konsentrasinya di masa pra-industri. Tingkat perubahan yang sangat dramatis ini diketahui akibat aktivitas manusia dan belum pernah terjadi selama ini. CO2 merupakan gas rumah kaca yang dapat tinggal di atmosfer hingga 80 - 120 tahun. Walaupun potensi pemanasan global CO2 tergolong lemah namun karena jumlahnya banyak maka tentu saja keberadaan gas ini secara berlebih dapat sangat mengancam kenyamanan bumi kita. 

Perubahan iklim telah tercatat benar terjadi. Perubahan iklim di masa lampau merupakan fenomena yang alami sedangkan kebanyakan perubahan pada 50 tahun terakhir ini lebih disebabkan oleh aktivitas manusia. Manusia mempercepat terjadinya perubahan iklim melalui aktivitas yang tidak bersahabat dengan alam semisal pengrusakan hutan. Manusia melakukan aksi maka alam akan bereaksi.

Menyadari hal tersebut maka perlu dilakukan upaya bersama dalam adaptasi dan mitigasi untuk menanggulangi dampak yang semakin besar. Kejadian dan bencana yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pengingat bagi kita bahwa bumi kita saat ini berada pada kondisi “sakit”. Berbagai bencana yang menimpa jangan hanya diterima sebagai dampak perubahan iklim tanpa adanya kesadaran mendalam tentang kesalahan manusia di dalamnya. Mari kita memaknai perubahan iklim sebagai “akibat” bukan “penyebab”. Jadi mulai sekarang, berhenti mengkambinghitamkan perubahan iklim. Mari melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk mengurangi dampaknya hari ini dan di masa yang akan datang. 

*ditulis sebagai syarat kelulusan diklat PMG Fungsional Ahli angkatan VI tahun 2015
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...