El Nino
merupakan suatu penyimpangan kondisi laut yang
terjadi di Samudera Pasifik sekitar ekuator. Istilah El Nino berasal dari bahasa Spanyol yang berarti anak laki-laki kristus karena biasanya datang di bulan
Desember saat natal sedang berlangsung. El Nino membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia baik di
Indonesia maupun secara global. Dampak yang sangat nyata di Indonesia dapat
kita saksikan bersama di tahun 2015 ini mulai dari dampak langsung berupa
berkurangnya curah hujan maupun dampak tidak langsungnya berupa kekeringan,
kebakaran, hingga berdampak pada kestabilan negara.
Untuk
memahami El Nino kita perlu
memahami kondisi normal saat El Nino (maupun
La Nina) sedang tidak
berlangsung. Dalam
kondisi normal, keberadaan angin pasat
tenggara yang bertiup dari arah yang tetap sepanjang tahun menyebabkan terjadinya arus permukaan yang membawa massa air permukaan
ke wilayah Pasifik bagian barat (sekitar Indonesia). Karena adanya daratan Indonesia maupun Australia maka massa air tersebut tertahan dan lama kelamaan terkumpul. Mengingat massa air laut dekat permukaan bersifat
hangat maka massa air yang terkumpul tersebut meningkatkan suhu muka laut di
Pasifik barat. Pada tahap ini akan terbentuk suatu sirkulasi arus dimana arus
permukaan menuju ke arah barat sedangkan arus di lautan dalam menuju ke arah timur. Pergerakan ini
diakibatkan oleh massa air yang terkumpul di Pasifik barat akan bergerak turun
(downwelling) sehingga arus di pasifik timur akan naik (upwelling). Arus yang
naik ini membawa massa air dari lautan dalam yang tentu saja bersifat dingin.
Hal inilah yang normal terjadi di Samudera Pasifik dimana suhu muka laut di
Pasifik barat (sekitar Indonesia) lebih hangat dibandingkan di Pasifik timur sekitar
Pantai Barat Peru (Gambar 1).
Kondisi suhu muka laut sangat erat kaitannya dengan pembentukan
awan-awan hujan. Suhu muka laut
yang hangat senantiasa beriringan dengan sistem tekanan rendah begitu pun
sebaliknya. Adanya perbedaan tekanan udara antara sisi barat dan timur samudera
Pasifik akan menimbulkan suatu sirkulasi yang dikenal dengan istilah sirkulasi
Walker. Sirkulasi ini menunjukkan bahwa dalam kondisi normal wilayah pasifik
barat akan menjadi pusat pembentukan awan-awan konvektif yang membawa hujan
(Gambar 1).
Gambar 1. Kondisi normal (Source: W.S. Kessler, NOAA/PMEL dari laman www.seos-project.eu) |
Pada kasus El Nino, hal sebaliknya terjadi. Angin pasat tenggara mengalami pelemahan yang bahkan berubah arah menajdi pasat barat daya. Akibatnya suhu muka laut yang lebih hangat akan berpindah ke wilayah samudera Pasifik bagian tengah hingga timur dan wilayah Pasifik barat menjadi lebih dingin. Pusat-pusat pembentukan awan konvektif pun lalu bergeser sehingga Indonesia yang biasa banyak hujan menjadi lebih sedikit. Sebaliknya, wilayah Peru dan sekitarnya yang dalam kondisi normal kondisinya dingin dan kering menjadi lebih hangat dan basah (banyak hujan).
Dampak El Nino
di Indonesia sebenarnya tidak sama di setiap wilayah di Indonesia. Indonesia bagian tengah
hingga timur lebih cenderung berdampak dibandingkan di Indonesia barat khususnya Sumatera.
Dari analisis historis data curah hujan dapat diketahui wilayah mana saja yang
berdampak terhadap kejadian El Nino (Gambar 2).
Gambar 2. Peta korelasi El Nino dan Curah hujan
Indonesia (Sriworo, 2008)
|
Analisis dampak El Nino di Indonesia menunjukkan adanya perbedaan berdasarkan pada periode kejadiannya. El Nino akan sangat berdampak membawa kekeringan saat terjadi di musim kemarau dibandingkan saat di musim hujan. Misalnya di Baubau pada El Nino 1997 tidak terjadi hujan sama sekali selama tiga bulan berturut-turut selama musim kemarau. Sementara itu pada saat musim hujan, sekuat apapun intensitas el nino, pengaruhnya akan kalah dengan kehadiran monsun Asia. Ketika monsun Asia aktif maka akan ada suplai uap air ke wilayah Indonesia. Potensi kejadian hujan akan meningkat walaupun intensitasnya masih lebih sedikit dari biasanya (masih dalam kategori musim kemarau menurut BMKG).
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk memprediksi kejadian El Nino. Pertama
melalui indeks Nino3.4 yang merupakan anomali suhu muka laut di wilayah Nino3.4
atau Pasifik bagian tengah. Kedua melalui Southern Oscillation Index (SOI) yang
merupakan perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin. Berdasarkan intensitas
kejadiannya, indeks El Nino ini dikategorikan dalam tiga kelas yaitu El Nino
kuat, El Nino sedang, dan El Nino lemah. Semakin tinggi anomali suhu muka laut
di Nino3.4 atau semakin rendah perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin maka
El Nino dalam kategori kuat. El Nino kuat tentu akan lebih berdampak
dibandingkan El Nino sedang maupun lemah (Gambar 3).
Gambar 3. Contoh Prakiraan Indeks Nino3.4 (kiri) dan SOI (kanan) [source : bmkg.go.id] |
El Nino biasa juga disebut sebagai ENSO padahal dua peristiwa ini adalah
peristiwa yang berbeda. ENSO atau El Nino Southern
Oscillation terdiri dari dua fenomena
yakni fenomena El Nino dan Southern Oscillation. El
Nino sendiri berarti komponen lautannya sedangkan Southern Oscillation berarti komponen atmosfernya. Oleh
karenanya, El Nino menggunakan indeks Nino3.4 yang unsur utamanya suhu muka laut sedangkan ENSO
menggunakan SOI yang unsur utamanya adalah tekanan
udara. Jadi, ketika kita berbicara El Nino, kita hanya membahas seputar lautannya. Namun ketika
kita berbicara ENSO maka kita berbicara masalah lautan dan atmosfer.
Sebagai penutup, ada film bagus nih tentang El Nino disini :)