[sumber : www.el-nino.com] |
Pada tahun 2015 ini dunia kembali dilanda El Nino. El Nino ini teramati
terus menguat sejak April 2015 dan diprediksi akan menjadi El Nino kategori
kuat pada akhir tahun. Beberapa daerah di Indonesia mulai terkena dampaknya.
BMKG pada bulan Juli lalu menyatakan bahwa Jawa, Sulawesi Selatan, Lampung,
Bali, NTB, dan NTT telah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut yang sangat
panjang. Wilayah-wilayah tersebut sudah mengalami kekeringan sejak Mei 2015. Kekeringan
ini diprediksi masih akan berlangsung dimana awal musim hujan 2016 di beberapa
daerah tersebut akan mengalami kemunduran dampak dari kemunculan El Nino. Menyikapi
hal ini maka timbul pertanyaan di benak kita, “bagaimana dengan wilayah Sulawesi
Tenggara?”
Dari pantauan BMKG unit Sulawesi Tenggara di kota Kendari, Bau-bau, Pomalaa,
dan Ranomeeto, tercatat masih adanya hujan yang turun hingga bulan Juli kemarin.
Kondisi hari tanpa hujan sempat terjadi selama kurang lebih dua minggu pada
awal bulan Juli. Memasuki pertengahan hingga akhir Juli, hujan tercatat
beberapa kali terjadi dengan intensitas rendah. Hujan yang turun ini mungkin
tampak seperti angin segar bagi kita bahwa fenomena El Nino tidak berdampak di Sulawesi
Tenggara. Lalu apakah hal tersebut benar?
Dari kajian analisis sebaran dampak , wilayah Indonesia bagian timur
sangat rentan terkena dampak El Nino. Tentu saja itu termasuk wilayah Sulawesi
Tenggara. Ditambah lagi dengan posisi Sulawesi Tenggara yang berbatasan
langsung dengan Laut Banda. Kajian para pakar membuktihkan bahwa Laut Banda
yang luas dan dekat dengan Samudera Pasifik memiliki suhu muka laut yang lebih
rendah saat kejadian El Nino dibandingkan saat kondisi normal.
El Nino merupakan suatu penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan
meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar ekuator khususnya
di bagian tengah dan timur (sekitar Pantai Barat Peru). Dikatakan sebagai
penyimpangan karena kondisi El Nino ini berlawanan dengan kondisi normal.
Seharusnya permukaan laut yang hangat adalah di bagian barat (wilayah perairan
Indonesia) dan yang dingin adalah di wilayah tengah dan timur Samudera Pasifik.
Namun El Nino membalikkan keadaan. Akibat penyimpangan laut ini maka terjadi
penyimpangan pada sistem atmosfer. Pusat pembentukan awan bergeser ke wilayah
timur Pasifik. Jika pada kondisi normal hujan seharusnya turun di wilayah Pasifik
barat akan tetapi El Nino memindahkannya ke Pasifik timur (Amerika Tengah dan Selatan).
Laut merupakan mesin penyuplai uap air terbesar. Laut yang hangat
akan melepaskan lebih banyak uap air di udara. Uap air ini sangat bermanfaat
untuk pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi El Nino, suhu muka laut di
perairan Indonesia khususnya Indonesia bagian timur cenderung lebih dingin. Akibatnya,
tingkat penguapan di laut Indonesia berkurang. Namun hal sebaliknya terjadi di wilayah
tengah dan timur Pasifik (sekitar Pantai Barat Peru). Suhu muka laut disana
lebih hangat sehingga pembentukan awan lebih banyak. Oleh sebab itu dikatakan
bahwa El Nino membawa dampak yang berbeda di sisi barat dan sisi timur Samudera
Pasifik. Di sisi barat mencakup Indonesia, Australia, hingga India, El Nino berdampak
pada meningkatnya resiko kekeringan namun bagi sisi timur mencakup Amerika
Tengah dan Selatan, El Nino pada umumnya meningkatkan resiko banjir.
Untuk mengantisipasi dampak El Nino di Sulawesi Tenggara, kita perlu
mempelajari sejarah kejadian dan dampaknya terhadap cuaca dan iklim di masa
lalu. El Nino tercatat telah terjadi sebanyak delapan kasus dalam 20 tahun
terakhir dimana El Nino kategori kuat baru terjadi satu kali yakni pada tahun
1997-1998. Dengan memperhatikan data historis curah hujan Sulawesi Tenggara pada
tahun-tahun El Nino dapat diketahui bahwa beberapa kasus El Nino berdampak pada
pengurangan curah hujan dan beberapa tidak berdampak. Perbedaan dampak El Nino ini
dipengaruhi oleh intensitas, durasi kejadian, dan kapan terjadinya. Pada kasus El Nino
kuat, curah hujan diketahui mengalami defisit yang sangat signifikan. Sementara
itu pada kasus El Nino lemah-sedang, secara umum
berdampak defisit curah hujan namun tidak dipungkiri beberapa kejadian malah menunjukkan
peningkatan curah hujan. Peningkatan ini ternyata terjadi selama musim
penghujan. Hal ini menunjukkan bahwa efek El Nino akan lebih merusak saat
datang di musim kemarau sedangkan saat dating di musim penghujan efeknya
melemah.
Saat ini wilayah Sulawesi Tenggara secara umum telah memasuki musim
kemarau. Kota Kendari yang normalnya masuk musim kemarau di bulan Juli dasarian
II (tanggal 11 – 20), pada tahun ini maju atau lebih cepat satu dasarian yakni
menjadi Juli dasarian I (tanggal 1 – 10). Curah hujan bulan Juli di kota Kendari
mengalami defisit 76 % dari rata-ratanya. Pengurangan yang lebih parah terjadi
di Pomalaa sebesar 83 % dan di Bau-bau defisit 93 % dari rata-ratanya selama 29
tahun. Dari informasi ini kita dapat mengetahui bahwa El Nino telah berdampak signifikan
di beberapa tempat di Sulawesi Tenggara.
El Nino adalah suatu fenomena yang tidak memilki pola yang tetap
pada setiap kemunculannya dan juga tidak muncul secara tiba-tiba. El Nino baru
dapat diprediksi kehadirannya dalam beberapa bulan ke depan saja. Dengan
mengamati suhu muka laut di sekitar wilayah Tahiti dan Darwin Australia, kita
dapat mengetahui bahwa El Nino sedang dan akan terjadi. BMKG dan institusi
dunia lainnya memprediksikan El Nino 2015 akan berkembang menjadi El Nino kuat
mulai bulan Agustus. International Research Institute (IRI) Amerika Serikat berani
memastikan peluang kejadian El Nino mencapai 100 %. Berdasarkan intensitasnya maka
El Nino level kuat ini perlu diwaspadai. Besarnya intensitas El Nino yang datang
di musim kemarau sebanding dengan kerusakan yang dapat ditimbulkannya.
Prediksi dampak yang mungkin terjadi pada El Nino kali ini dapat
kita pelajari dari dampak yang terjadi pada tahun 1997/1998. Kejadiannya hampir
serupa dengan kasus kali ini dimana El Nino berada pada level kuat yang puncaknya
mulai aktif pada bulan Agustus dan terus berkembang hingga Februari. Pada waktu
itu, curah hujan di wilayah Sulawesi Tenggara secara umum tercatat mengalami
pengurangan yang signifikan hingga 100 % atau tidak ada hujan sama sekali dalam
satu bulan. Kondisi kering ini terjadi sepanjang musim kemarau. Di Bau-bau, defisit
curah hujan sudah terjadi sejak musim hujan bulan Mei 1997 yang saat itu
kondisi El Nino masih dalam level lemah. Defisit ini terus berlangsung hingga
puncaknya pada bulan Agustus-September-Oktober tidak tercatat hujan sama sekali
selama 3 bulan penuh. Kemudian saat memasuki musim hujan bulan Desember-Januari-Februari
saat El Nino masih berada pada puncaknya El Nino kuat, pengaruhnya tidak begitu
besar. Hujan tercatat masih terjadi walaupun akumulasi bulanannya di bawah
normal namun intensitasnya cukup besar.
Dampak serupa ditunjukkan di wilayah lain di Sulawesi Tenggara seperti
Kabupaten Raha, Buton, Konawe, dan Bombana. Banyak wilayah yang mengalami
kondisi kering selama tiga bulan berturut-turut pada puncak musim kemaraunya di
bulan Agustus hingga Oktober. Ketika memasuki musim penghujan, beberapa wilayah
menunjukkan adanya hujan yang tercatat walaupun nilainya berada di bawah normal.
Bahkan beberapa ada yang menunjukkan tidak berdampak sama sekali. Konawe
Selatan misalnya, pada bulan Januari 1998 saat El Nino masih dalam intensitas
kuat, curah hujan yang terukur diketahui berada dalam kondisi di atas normal.
Belajar dari masa lalu maka kita sebagai masyarakat Sulawesi
Tenggara perlu mewaspadai kemungkinan kerusakan pada El Nino 1997/1998 terjadi
lagi pada El Nino tahun ini. Kita harus mewaspadai kekeringan yang mungkin
dapat terjadi selama musim kemarau ini terutama di bulan Agustus, September,
dan Oktober. Kondisi kering dalam waktu yang panjang dapat membawa kerugian di
banyak sektor kehidupan mulai dari tingkat satuan rumah tangga hingga
kestabilan ekonomi suatu negara.
Untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh El
Nino maka kita perlu melakukan upaya-upaya penanggulangan mulai dari sekarang. Pemerintah
harus lebih siap dan tanggap pada kemungkinan bencana lanjutan akibat kemunculan
El Nino. Pemerintah juga dapat memaksimalkan beberapa sektor yang berdampak
positif pada kemunculan El Nino salah satunya sektor perikanan dengan
meningkatnya potensi ikan di wilayah perairan kita. Di tingkat masyarakat, kita
dapat melakukan penghematan penggunaan air. Kita dapat membuat daerah resapan
air dengan harapan ketika hujan turun sesekali maka kita dapat memanfaatkannya
dengan lebih maksimal. Untuk menjaga kesehatan, kita harus mengonsumsi air
lebih banyak dari biasanya karena kondisi kering yang dibawa oleh El Nino
menyebabkan tingkat dehidrasi meningkat.
*Tulisan ini telah dimuat di koran Kendari Pos pada kolom Opini tanggal 11 Agustus 2015 dan masih dapat diakses di situs kendari pos disini.