Letusan gunung merupakan salah satu aktivitas vulkanik yang berdampak
sangat besar terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sejumlah material disemburkan
ke atmosfer pada saat terjadi letusan. Ada material yang kemudian jatuh ke
permukaan bumi akibat ukuran dan massanya yang besar. Ada pula beberapa dari
material tersebut yang sangat halus sehingga dapat bertahan lebih lama di
atmosfer. Material-material ini kemudian dapat dibawa ke wilayah lain melalui
hembusan angin. Beberapa material akan jatuh ke permukaan bumi bersama dengan
hujan. Biasanya hujan membutuhkan satu hingga dua minggu untuk membersihkan
atmosfer lapisan bawah dari debu vulkanik yang bertebaran.
Sejarah telah menunjukkan bahwa beberapa letusan gunung yang maha dahsyat
mengakibatkan berubahnya kondisi iklim global. Misalnya saja meletusnya Gunung Tambora
di NTB pada tahun 1815 yang dinyatakan sebagai letusan gunung terdahsyat
sepanjang sejarah yang kekuatan letusannya 10 kali lipat dari letusan Gunung Krakatau.
Debu vulkanik dari Tambora menetap di lapisan stratosfer selama beberapa tahun
sebelum turun kembali ke bumi melalui angin dan hujan. Letusan Tambora
berakibat luar biasa. Pengaruhnya dapat dirasakan hingga ke benua Asia, Eropa
dan Amerika Utara. Salah satunya terjadi hujan tanpa henti selama 8 minggu di
Eropa.
Letusan gunung maha dahsyat pula terjadi pada Gunung Krakatau pada Agustus
1883. Bukan sekedar meletus, Gunung Krakatau bahkan meledakkan dirinya hingga
hancur berkeping-keping. Kekuatan letusannya 10.000 kali lebih kuat
dibandingkan kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki.
Letusan ini menyebabkan terjadinya tsunami. Siapapun yang mendengar gemuruhnya
pada radius 10 km akan menjadi tuli. Akibat dari letusan ini, dunia sempat
gelap selama beberapa hari akibat banyaknya debu vulkanik yang menutupi
atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya.
Pada 5 November 2010, Jogjakarta dan sekitarnya mengalami kehebohan akibat
meletusnya Gunung Merapi. Dea N. Bestari dalam penelitiannya menyatakan bahwa
gas SO2 tersebar hampir ke seluruh wilayah Jawa Tengah terutama
bagian baratnya. Curah hujan tertinggi tercatat terjadi di Banjarnegara pada
tanggal 11 November 2010 dengan intensitas 127 mm. Dari data kimia air hujan
diketahui terjadi peningkatan jumlah SO4 dalam air hujan paska
erupsi sehingga mengakibatkan tingkat keasaman air hujan meningkat.
Yang masih terbayang-bayang hingga hari ini, aktivitas Gunung Sinabung di Karo,
Sumatera Utara, masih terus berlanjut. Dari letusannya yang terjadi pada
tanggal 7 September 2013 lalu menunjukkan adanya perubahan curah hujan di bulan
September pada wilayah-wilayah sekitar Gunung Sinabung tersebut. Wilayah Meulaboh
dan Deli Serdang tercatat mengalami peningkatan curah hujan dari normalnya sedangkan
Medan, Sibolga dan Gunung Sitoli mengalami penurunan curah hujan dari
normalnya.
Informasi Aktivitas Gunung Kelud [sumber : www.bmkg.go.id] |
Dalam bidang meteorologi (kecuacaan) diketahui bahwa debu vulkanik
merupakan salah satu aerosol yang bertindak sebagai inti kondensasi dalam pembentukan
awan. Keberadaan inti kondensasi ini menjadi sangat penting karena ia merupakan
bibit pembentuk awan. Tanpa adanya inti kondensasi maka awan tidak dapat
terbentuk.
Pada saat letusan gunung terjadi maka atmosfer secara langsung mendapatkan suntikan
aerosol dalam jumlah yang sangat besar. Aerosol ini akan mengikat uap air dan
membentuk butir awan. Butir awan terus bergerak saling bertabrakan dan
bergabung membentuk ukuran yang lebih besar yang dikenal dengan istilah tetes
hujan. Dari sinilah akan tampak adanya awan di langit. Ketika tetes hujan yang
terbentuk menjadi lebih banyak maka ia akan menjadi berat dan dapat jatuh
sebagai hujan.
Meningkatnya debu vulkanik di atmosfer tidak serta merta mengakibatkan
peningkatan curah hujan. Hal ini masih dipengaruhi oleh kondisi kelembaban
udara (RH) pada waktu yang bersamaan. Jika RH pada waktu itu tinggi maka debu
vulkanik yang banyak ketika diiringi dengan kandungan uap air yang banyak pula dapat
mengakibatkan peningkatan jumlah awan yang kemudian berdampak pada peningkatan kuantitas
curah hujan maupun hari hujan. Namun ketika kondisi RH pada waktu itu rendah
maka awan yang terbentuk akan lebih sedikit sehingga curah hujan berkurang.
Udara di sekitar kita pun akan terasa lebih kering karena uap air di atmosfer
banyak diserap oleh debu vulkanik tersebut.
Dampak lain yang dapat dirasakan oleh masyarakat adalah ketika SO2
sebagai material dari erupsi meningkat di atmosfer maka ketika ia bereaksi
dengan H2O akan membentuk aerosol H2SO4. H2SO4
ini akan mengikat uap air dan ketika turun ke permukaan bumi sebagai hujan
maka ia akan menjadi hujan asam.
Kemudian yang menjadi dampak jangka panjang dari letusan gunung berapi adalah
ketika letusan gunung sangat kuat sehingga debu vulkaniknya dapat mencapai lapisan
stratosfer. Debu tersebut dapat terperangkap pada lapisan stratosfer dalam
waktu yang lama. Untuk menghilangkan debu vulkanik di lapisan stratosfer ini
cukup sulit karena sifatnya yang stabil sehingga awan sulit untuk terbentuk di
lapisan ini. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan komposisi atmosfer sehingga
mengganggu keseimbangannya. Dalam jangka waktu yang lama, endapan debu vulkanik
hingga lapisan stratosfer dapat mempengaruhi keadaan iklim global. Melalui
angin, debu vulkanik itu kemudian dapat disebar ke berbagai wilayah.
Debu vulkanik yang terlempar ke atmosfer selama letusan dapat pula menyebabkan
permukaan bumi menjadi hangat atau justru sebaliknya. Debu vulkanik seperti Karbon
Dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang sifatnya
menahan radiasi gelombang panjang dari bumi ke angkasa luar sehingga radiasi
itu terperangkap di atmosfer dan meningkatkan suhu rata-rata di permukaan bumi.
Akan tetapi hal sebaliknya dapat pula terjadi. Laporan ke-4 IPCC pada tahun
2007 menyatakan bahwa letusan vulkanik dapat menyebabkan penurunan suhu
permukaan global rata-rata sekitar setengah derajat Celcius yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.