Ku
pandangi lekat-lekat sosok pria berbaju hitam di bawah sana. Warna kulitnya
hampir menyamai warna bajunya. Dari gelagat dan rupanya, siapa pun tahu bahwa
ia seorang anak pesisir pantai. Pundaknya lebar dan tubuhnya bidang. Ia tampak
menonjol dari kerumunan orang-orang di dek kapal dengan badannya yang tinggi.
Tangannya tampak sangat kuat dengan kardus di kedua tangannya. Rambutnya cepak
potongan tentara. Aku perhatikan, sepertinya ia sedang mencari-cari seseorang.
Menoleh kesana kemari. Matanya terhenti ke arahku. Ia menaiki tangga itu satu
demi satu dan semakin mendekat ke arahku. Lalu tiba-tiba ia memukulku.
“Heh!
A foratoko mina kala nokodoho garaa! Sa cari-cari ko dari tadi!” Ucapnya dengan
nada keras tanpa emosi.
“Hehe.
Maap sabangka. Sa cuma mau liat-liat keramaian ini. Pedahae? Sudah naek mi
semua barangmu?”
“Umbe.
Ini semua barang titipan sama oleh-oleh. Semua sudah beressss.” Ucapnya penuh
semangat.
Lagi,
ku pandangi ia lekat-lekat. Ia begitu senang dan bersemangat. Aku tahu bahkan
sangat tahu. Ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk sampai di sini. Dulu,
ketika ayahnya sakit keras, mereka tidak mempunyai uang. Ia harus bekerja untuk
menghidupi ayah, ibu dan kedua adik perempuannya. Ia juga tidak bisa
meninggalkan ayahnya yang sakit-sakitan di rumah. Karena itulah ia tidak dapat
menggapai cita-citanya. Dan saat sekarang, saat ayahnya telah sehat dan kembali
bekerja, yang menghalangi cita-citanya adalah umurnya. Umurnya sudah tidak
memenuhi syarat. Ia pasrah. Ia hanya bisa menitipkan cita-citanya padaku.
Padaku yang ia anggap seperti adik laki-lakinya sendiri. Begitulah yang ia
katakan kepadaku.
Aku
sangat senang melihat senyum lebarnya saat itu. Aku sangat tidak ingin menyakiti
hatinya. Aku tahu bagaimana berartinya ia bagiku. Ia adalah sahabatku. Bahkan
sudah ku anggap kakakku sendiri. Ia lima tahun lebih tua dariku. Hobinya adalah
berpetualang. Prestasi akademiknya tidak sebaik aku. Bagi dia yang memiliki
impian merubah dunia, saat kau ingin merubah dunia maka jadilah seorang yang
besar. Peganglah kekuasaan. Ia sangat ingin merubah dunia. Dialah La Suhairi.
Orang-orang biasa memanggilnya Suha. Aku sangat mengenalnya. Aku lebih
mengenalnya daripada orang lain.
“Januuuu,
ko nda dengar apa sa bilang kah?”
“Eh?
Pedahae?” Jawabku kaget.
Dia
mengerutkan dahi, “Dari tadi sa perhatikan ko melamun terus. Apa yang ko pikirkan
kah? Harusnya ko semangat to.”
“Hehe.
Iya, maaf.”
“Jadi,
berkas-berkasnya sudah ko bawa mi semua to?”
“Sudah
mi” Jawabku menenangkan.
Memang
benar. Memang benar akhir-akhir ini aku banyak melamun. Banyak
menimbang-nimbang. Menggunakan akal dan perasaanku. Berpikir dan terus
berpikir. Hidup ini adalah pilihan itu memang benar. Bagaimana aku hari esok
adalah konsekuensi dari pilihanku hari ini. Seperti itulah yang dikatakan inaku
kepadaku. Oleh karenanya aku tidak mau salah memilih. Sungguh tidak mau.
***
Namaku
Janu. Hobiku bermain teka-teki dan membaca. Aku selalu baris di barisan
terdepan saat apel pagi. Usiaku saat ini 18 tahun.
Aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas dari SD hingga SMA. Aku pernah
menjuarai lomba cepat tepat matematika tingkat Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi
Tenggara saat duduk di kelas 2 dan 3 SMP serta saat duduk di kelas 1, 2 dan 3
SMA. Begitu juga dengan ilmu sains lainnya. Aku memang sangat suka pada ilmu
sains. Kata guru matematikaku, aku anak yang jenius. Entah beliau berlebihan
atau tidak. Tapi itulah yang dipercayai oleh teman-temanku. Mereka selalu
bertanya kepadaku tentang hal-hal yang mereka tidak ketahui. Padahal aku
sendiri pun sebenarnya tidak begitu mengetahuinya. Tapi yang membedakan aku
dengan mereka adalah aku mau mencari tahu. Setelah tahu barulah aku sampaikan kepada
mereka. Karena itu, mereka juga ikut-ikutan menganggapku si jenius.
Menurut
pandanganku, aku bukanlah anak jenius. Hanya saja aku selalu ingin tahu dan mau
mencari tahu. Aku masih ingat waktu duduk di bangku SMP, hanya karena saat itu
aku dapat menjawab soal matematika kelas 3 SMA, semua warga desa heboh. Sampai-sampai
jadi pembahasan warga desa saat itu. Pikirku mereka terlalu berlebihan. Tapi
begitulah keadaan warga pesisir. Seorang anak dapat membaca saja itu sudah lebih
baik. Apalagi jika seorang anak itu pandai matematika maka itu jauh lebih baik.
Dari
kecil aku sering diceritakan oleh inaku tentang dunia luar, tentang alam
semesta, tentang fenomena-fenomena alam, tentang sains dan teknologi. Tapi aku
hanya sekedar berkhayal tentang hal itu. Aku belum pernah melihatnya. Dan
bagaimana aku bisa pandai seperti ini, jangan tanyakan siapa yang mengajariku.
Karena pelakunya adalah inaku. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga yang ulet
dan berwawasan luas.
***
Sepanjang
perjalanan dari Raha menuju Kendari, aku terus saja diam dan memperhatikannya.
Masih berpikir. Aku sungguh-sungguh tidak ingin melukai hatinya. Aku sangat
menghormati dan menghargainya. Ku lihat ia sedang tertidur pulas sekali. Ku
perhatikan bekas luka di balik telapak tangannya. Sudah lama sekali. Sudah lama
kira-kira 10 tahun yang lalu.
Masih ku ingat waktu itu aku duduk
di kelas 2 SD. Ketika pelajaran bahasa Indonesia sedang berlangsung, ia
memanggilku dari luar jendela kelas. Aku menoleh ke luar jendela. Ia
menunjukkan aku bagaimana piawainya ia memainkan layang-layang. Entah kenapa
aku sangat senang melihatnya. Rasa sedih karena ditinggal mati oleh idhaku 2
minggu yang lalu sejenak terlupa. Aku keluar kelas diam-diam dan mengikutinya.
Sepanjang siang yang terik itu kami bermain layang-layang.
Sayangnya
ketika aku yang baru pertama kali memainkannya, layangannya malah putus. “Duh,
bagaimana ini?”, ucap pikirku. Aku merasa sangat bersalah. Aku melihat ke
arahnya untuk menebak apa yang akan ia lakukan padaku. Ku pikir ia akan marah
padaku. Ternyata ia tersenyum dan menarik tanganku. Katanya saat itu, “Mari
kita buat yang baru”.
Ia
mengajakku ke Hutan Semut. Dinamakan Hutan Semut karena orang-orang yang masuk
ke hutan ini selalu mendapat serangan semut alias digigit ribuan semut hingga
tubuhnya merah-merah.
“Bambu di hutan ini yang terbaik.” Ucapnya
dengan mata berbinar.
“Coba
lihat, ada banyak sisa-sisa bambu bekas diambil orang to.” Ia berkata sambil
menunjuk kerumunan pohon bambu di hadapan kami.
“Oh
iya, kita kan nda bawa parang. Hmmm..... Kalau begitu, pake ini saja.” Sambil
mengangkat tangan kanannya, “Tanganmu bisa melakukan banyak hal bahkan untuk
memotong bambu ini.” Ia mengucapankannya sambil tersenyum.
Dengan cepat ia mulai mematahkan
bambu tersebut. Aku hanya diam memperhatikannya. Sedikit demi sedikit ia
berhasil mematahkannya namun bambu itu belum dapat lepas. Ia memutar dan
menarik-nariknya dengan sekuat tenaga. Dan akhirnya berhasil. Dia menoleh
padaku dengan memasang muka ketus. Pikirku saat itu ia berkata, “Mudah sekali
to?”
Ia diam dan memperhatikan. Katanya
bambu itu kurang bagus. Ia mengulangi hal yang sama pada batang bambu
berikutnya. Ketika ia sedang menarik-nariknya, tiba-tiba ribuan semut dari
bilah-bilah bambu menyerangnya. Ia tersentak dan berlari kesana kemari sambil
menggaruk-garuk tubuhnya. Sontak aku tertawa terbahak-bahak melihatnya. Aku
tidak bisa menahan tawa. Ia terus saja berlari kesana kemari hingga BRUUUKKKK. Ia terjatuh ke depan.
Lututnya berusaha menahan berat tubuhnya dan ke dua tangannya pun berusaha
menahan tubuhnya agar tidak terjerembab ke tanah. Saat itu aku meringis. Aku
ketakutan dan tercengang. Ku lihat tangannya penuh dengan darah. Tangannya
bertumpu pada tempat yang salah. Baru saja tangannya bertumpu pada sisa batang
bambu bekas potongan parang. Runcing dan tajam. Batang bambu itu seolah-olah
keluar dari telapak tangannya.
Aku
bingung harus bagaimana. Ia mulai mengerang menahan sakit dan menarik tangannya
sendiri. Aku tertegun dan masih saja bingung apa yang harus aku lakukan. Tangan
kirinya menarik-narik lengan seragam sekolahnya. Dengan bantuan giginya,
akhirnya seragam sekolahnya sobek. Ia membungkus tangannya dengan kain sobekan
itu. Aku tidak bisa berpikir. Aku hanya bisa melihat apa yang ia lakukan.
Dengan
cepat, ia lalu menarik tanganku dan berlari keluar Hutan Semut. Ia langsung
menuju ke rumah suster Anjari. Ibu Anjari berkata bahwa luka yang dialami oleh
Suha sangat fatal. Darah terus saja mengalir. Namun penanganan pertama yang
dilakukan cukup baik sehingga darahnya tidak banyak keluar. Akhirnya ibu Anjari
membersihkan luka di telapak tangan suha dan menjahitnya. Ia melakukannya
dengan alat dan bahan yang terbatas. Aku sangat berterimaksih pada beliau
karena dengan bantuannya, hingga sekarang, tangan Suha baik-baik saja.
Aku
sangat bersyukur atas itu. Apalagi pada waktu itu perasaan bersalah dan berdosa
terus melandaku. Karena pikirku pada awalnya semua itu terjadi karena salahku.
Karena aku merusak layangannya maka kami pergi ke Hutan Semut. Lalu saat ia
diserang oleh ribuan semut aku tidak menolongnya sama sekali malah
menertawainya. Dan lihatlah akhirnya. Tangannya terluka. Dan ia menangani
semuanya sendiri. Aku hanya diam gemetaran. Aku benar-benar payah. Tapi, aku
beritahu kepadamu, saat itu hingga sekarang, ketika aku meminta maaf atas
kejadian di Hutan Semut itu, ia tidak menyukainya. Ia berkata, ia tidak pernah
marah padaku dan ia tidak pernah menyalahkanku atas kejadian waktu itu.
***
Pelabuhan
Torobulu Kendari sudah di depan mata. Aku tidak tidur sejak berangkat dari
Tampo tadi. Sudah ku bilang aku terus berpikir. Karena ini masalah penting. Ini
masalah yang menyangkut masa depanku. Masalah penting yang menentukan seperti
apa aku hingga 50 tahun yang akan datang. Aku tidak bisa tidak memikirkannya.
Aku terus memikirkannya akhir-akhir ini. Karena sungguh aku sedang dalam
dilema. Aku benar-benar tidak ingin melukai hatinya. Tapi aku juga tidak ingin membohongi
diriku sendiri.
Suara
riuh orang-orang yang mulai bergegas mengangkat barang-barang, menyadarkanku
dari lamunan. Aku membangunkannya.
“Oh,
sudah sampai kah?”
Kataku
iya membenarkan.
“Kalau
begitu, cepat mi pale. Ada mi La Hadi di depan itu tunggu kita.” Sepupunya,
Hadi, sebelumnya sudah dikabarkan kepadanya bahwa kami akan datang ke Kendari
untuk melakukan pendaftaran Akademi Militer TNI AD. Ia menjemput kami di
pelabuhan karena terus terang ini untuk pertama kalinya kami ke Kendari. Kami
tidak tahu apa-apa.
Hadi
sudah ada di pelabuhan menunggu kami. Aku berjalan lambat membiarkan Suha
berjalan duluan dan disambut sepupunya. Mereka saling menanyakan kabar dan
tampak akrab. Lalu aku melihat ada sedikit kecanggungan saat ia menoleh padaku
dan menunjukku. Pikirku, Suha pasti sedang meminta izin kepada sepupunya agar
sepupunya juga menerima aku di rumahnya. Lagi-lagi, aku menyusahkan Suha dan
keluarganya.
***
Aku
sudah melakukan pendaftaran di Ajen Korem Kendari ditemani oleh Suha dan Hadi.
Pendaftaran sudah selesai tapi kami belum mau pulang ke desa dulu. Kami
berencana melihat-lihat suasana kota Kendari selama dua hari ke depan.
Keesokan
harinya Suha dan Hadi mengajakku jalan-jalan ke Mall Mandonga. Tapi aku berkata
tidak, aku mau melakukan hal lain saja. Terus terang, hari ini aku berniat
untuk melakukan pendaftaran AMG. Aku tidak ingin Suha mengetahui hal ini karena
aku tidak ingin menyakiti hatinya. Walau sebenarnya aku tidak tahu jalan tapi
aku percaya pada peribahasa ‘malu bertanya sesat di jalan’. Dan akhirnya aku
berhasil.
***
Internet
baru saja masuk ke sekolahku. Semua murid merasa senang. Walaupun sebenarnya,
tidak semua murid dapat menggunakannya karena perangkat komputer yang tersedia cuma
5 buah.
Aku
sendiri tidak mengerti bagaimana cara menggunakannya. Aku takut salah
menggunakannya. Tapi kata ina, jika kamu selalu takut salah, kamu tidak akan
bisa maju.
Aku
memanfaatkan sisa-sisa waktuku di SMA ini dengan menghabiskan waktu di ruang Bapak
Wakil Kepala Sekolah yang juga merupakan guru matematikaku. Beliau sangat baik
padaku. Beliau mengizinkan aku menggunakan komputer di ruangannya dan mengajarkan
padaku bagaimana cara menggunakannya. Hahaha... Aku masih merasa lucu jika membayangkan
diriku saat itu. Seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru. Aku
benar-benar terpukau. Aku rasa, aku bisa mengetahui apa saja dari benda sekecil
ini.
Aku
fokus mencari informasi beasiswa universitas. Aku yang dari keluarga sangat
sederhana ini berharap dapat bersekolah gratis. Aku membuka sebuah websites
yang isinya adalah daftar sekolah tinggi kedinasan. Menarik. Ada banyak
sekolah-sekolah yang baru aku ketahui. Aku membukanya satu per satu dan aku
terhenti lama memperhatikan layar komputer itu pada websites http://www.amg.ac.id/.
Ku
baca baik-baik websites ini. AMG ternyata merupakan sekolah kedinasan yang
memberikan pengajaran pada bidang meteorologi, klimatologi dan geofisika. Aku
sangat tertarik pada salah satu bidang tersebut yakni meteorologi. Masih ku
ingat waktu duduk di kelas 1 SMA, aku mendapatkan pelajaran meteorologi ini dalam
mata pelajaran geografi. Entah mengapa aku sangat tertarik. Mungkin karena ilmu
ini berbau sains. Masih ku ingat apa yang dikatakan guru geografiku saat itu.
Ia berkata bahwa dalam meteorologi ini ada yang dikenal dengan istilah prediksi
cuaca. Prediksi ini masih sulit dilakukan karena alam itu cepat berubah dan
sulit ditebak. Inilah yang masih menjadi penelitian para ahli meteorologi.
Begitulah yang dikatakan beliau. Aku jadi penasaran saat itu. Dan aku setuju
dengan apa yang dikatakan beliau. Karena aku pernah mengalaminya ketika masih
kecil. Aku tidak ingin peristiwa yang terjadi pada idhaku terulang lagi. Aku
ingin kami yang hidup dengan bergantung pada alam ini, dapat hidup baik dan selaras
dengan alam. Oleh karena itu, aku tertarik untuk mendalami bidang ini.
Aku
membaca artikel penerimaan taruna baru AMG tahun akademik 2012/2013.
Pendaftarannya sudah dibuka sejak 1 bulan yang lalu. Ku baca persyaratannya
baik-baik dan berulang-ulang. Aku memenuhi syarat calon taruna. Aku lihat
lokasi tesnya. Sukurlah ada di Kendari. Aku kemudian mencatat hal-hal penting
yang harus aku persiapkan.
***
Aku
pernah memperhatikan inaku sekali-kali di waktu subuh. Ia keluar membuka pintu
rumah dan menghirup udara segar. Memandang langit untuk beberapa menit dan
kembali ke dalam rumah menyiapkan makanan.
Hari
itu beliau berkata padaku, “Nanti pulang jang singgah-singgah. Langsung pulang.
Jang lupa bawa payung. Kalau kehujanan, ko bisa sakit. Bajumu juga nda bisa
dipake lagi besok itu kalau sampai basah.”
Aku
merasa aneh, “Masa mo hujan sebentar Ina? Cerahnya mi ini hari.”
“Yang
jelas ko nda boleh kehujanan!”
Pagi
itu aku berangkat ke sekolah tanpa membawa payung. Dan benar, ketika pulang,
hujan turun dengan derasnya. Ku perhatikan seragam putih biruku satu-satunya.
Kalau ini basah, besok aku tidak bisa ke sekolah. Beberapa lama menunggu sampai
hujan reda, inaku tiba-tiba datang menjemput. Membawakanku payung. Aku merasa
tidak enak. Aku teringat apa yang dikatakan ina kepadaku pagi tadi.
“Kenapa
payungnya nda dibawa jan?” Beliau membuka pembicaraan.
“Aesalo
maafu ina.” Aku meminta maaf kepada beliau.
Aku
jadi penasaran sekarang, kenapa ina bisa tahu kalau siang ini akan turun hujan.
“Ina,
pedahae ina pandehane o ghuse panda goleo aini garaa?”
“Ina
cuma mengira-ngira, sayang.”
“Bagaimana
caranya ina?”
Beliau
tersenyum. Beliau tahu aku selalu ingin tahu. Beliau berkata “Coba sekali-kali
Janu perhatikan kondisi dan gejala-gejala yang tampak di alam.”
“Yang
mananya?”
“Coba
lihat awan itu.” Ucapnya sambil menunjuk langit yang masih menumpahkan air,
“Kalau awannya seperti itu, kemungkinan besar akan turun hujan.”
“Tapi
kan ina bilangnya mo hujan tadi pagi. Padahal tadi pagi cerah sekali.”
Beliau
kembali tersenyum, “Coba Janu rasakan hembusan angin. Kalau ada angin lemah
yang datang dari arah barat atau barat daya, kemungkinan hujan atau gerimis
akan tiba. Janu juga bisa perhatikan kondisi matahari. Kalau waktu terbit
warnanya merah tua lalu ada awan gelap maka kemungkinan akan turun hujan.”
Aku
terheran-heran mendengarnya. Kok bisa ya? Lalu aku kembali bertanya.
“Nembali
peda aitu ina?”
“Ina
juga belum tahu, sayang.” Beliau mengucapkannya sambil tersenyum.
Ucapan
beliau yang terakhir ini membuatku tidak bisa bertanya lagi.
Beliau
melanjutkan, “Sebenarnya ina agak sedikit bingung akhir-akhir ini. Cuaca sekarang
sulit ditebak. Teman-teman idhamu juga pada bingung. Makanya sekarang itu
banyak yang rugi. Bagaimana tidak? Ikan yang domorang dapat hanya sedikit.
Malah ada juga yang nda dapat ikan sama sekali.”
“Pernah
juga kejadian,” beliau melanjutkan lagi, “anginnya kencang sekali. Langit mendung.
Nda ada yang mau turun di laut. Dikira mau hujan deras sama gelombang tinggi.
Eh padahal tidak ada. Akhirnya nelayang-nelayan rugi. Tempat yang biasa banyak
ikannya juga tiba-tiba jadi sedikit sekali. Rugi lagi. Itu mi nelayan-nelayan
sekarang suka mengeluh nda bisa menebak kondisi alam. Padahal nelayan kecil
kayak idhamu juga sangat tergantung sama alam.”
Aku
ikut memikirkannya. Aku juga kebingungan. Tapi aku punya rasa ingin tahu yang
besar sekali. Aku mencoba mencari jawabannya di buku-buku perpustakaan SMP.
Nihil. Tidak ada. Buku di perpustakaan SMP memang sangat terbatas.
Aku
menanyakannya pada Suha. Mungkin saja di perpustakaan sekolahnya ada. Karena
biasanya, perpustakaan SMA jauh lebih baik dibandingkan SMP. Kata Suha ia akan
mencarikannya untukku.
Dua
hari berlalu, Suha datang kepadaku dengan membawa sebuah buku yang berjudul
‘Rahasia Alam dan segala Fenomenanya’. Aku segera mencari tahu segala
pertanyaanku selama ini. Aku membacanya baik-baik dan memprosesnya ke dalam
otakku. Aku mulai memahaminya sedikit demi sedikit.
Setelah
selesai membaca semua lembar di buku itu, aku mendatangi Suha untuk mengembalikannya.
Namun ketika sampai ke rumahnya, aku mendengar kabar dari adiknya bahwa Suha
masih berada di sekolah karena ia baru saja berulah lagi. Suha mencuri buku di
perpustakaan Balai Desa. Aku tidak mengerti. Aku segera berlari ke sekolahnya
dan mendapatinya sedang dimarahi oleh seorang pria.
“Berani
sekali kamu mengambil buku di Balai Desa tanpa izin! Lebih-lebih kamu masuk
lewat jendela!”
“Maaf,
Pak. Saya nda bermaksud mencuri. Saya cuma pinjam buku itu, Pak.”
“Apa
mengambil barang tanpa meminta izin itu sama saja dengan meminjam? Kamu ini
anak SMA tapi bertingkah nda pake otak. Mau jadi apa anak muda zaman sekarang.”
Keluh bapak itu dengan suara bernada sedih.
“Maaf,
Pak. Sumpah, Pak. Saya nda bermaksud mencurinya. Saya pasti akan
mengembalikannya.”
Aku
mengerti sekarang. Aku mengerti apa yang terjadi. Ternyata buku yang Suha
berikan padaku adalah buku yang ia ambil di Perpustakaan Balai Desa. Ia
mengambilnya tanpa izin karena saat itu adalah hari libur. Tidak ada orang di
Balai Desa. Ia hanya bermaksud meminjamnya dan akan mengembalikannya lagi. Tapi
hal itu tidak berjalan sesuai rencana karena ada orang yang melihatnya
mengambil buku itu dan melaporkannya kepada kepala Perpustakaan Balai Desa.
Aku
lagi-lagi merasa bersalah. Aku menempatkannya pada keadaan sulit. Selalu
seperti itu. Semua yang ia lakukan adalah demi aku. Ia bahkan rela melakukan
hal yang berbahaya demi memenuhi inginku. Aku semakin menghormatinya. Aku semakin
menyayanginya. Ia sangat berarti bagiku.
***
Nama
lengkapku adalah La Ode Januar. Teman-teman sering memanggilku Jenderal Janu.
Bukan tanpa alasan. Ini karena Suha yang selalu memanggilku dengan nama itu. Ia
pun mengumbarnya dimana-mana. Katanya aku akan menjadi seorang Jenderal TNI AD.
Ia selalu menyuruh orang-orang di desa untuk menghormatiku karena kata dia, aku
adalah calon Jenderal masa depan. Ini bukan sekedar guyonan Suha. Dari aku
kecil, ia selalu menceritakan padaku tentang cerita-cerita kepahlawanan para
prajurit TNI. Ia berkata bahwa kelak ia pun akan masuk TNI. Namun sayangnya
kesempatan itu tidak ia dapati. Ia sangat berharap padaku agar aku dapat
mewujudkan cita-citanya itu. Ia menaruh harapan besar padaku karena ia sudah
menganggap aku sebagai adik laki-lakinya sendiri.
Suha
sangat yakin bahwa aku akan lolos seleksi Akademi Militer. Ia bahkan memberikan
sebagian uang tabungannya untuk ku gunakan dalam keperluan seleksi. Inaku tidak
banyak berkomentar dan hanya mendukung saja. Karena baginya hidupku adalah
pilihanku. Kata ina, aku bisa menjadi apa saja yang aku inginkan karena aku
anak yang pandai. Beliau tidak akan memaksaku. Beliau pun akan selalu
mendukungku.
***
Ujian
Akhir Nasional telah selesai aku lalui. Benar-benar merupakan hari yang sangat
menentukan perjuangaku selama tiga tahun di SMA. Sekarang aku bisa fokus
memikirkan tes ujian masuk Akmil dan AMG yang sebentar lagi akan aku hadapi.
Pada akhir bulan April, aku dan Suha kembali melakukan perjalanan laut ke Raha kemudian
lanjut ke Kendari. Tes tahap pertama akan berlangsung di awal Mei nanti. Semua
sudah siap hanya batinku saja yang masih dalam dilema. Pada saat melaksanakan tes
tahap pertama ujian masuk AMG, aku tidak memberitahukannya pada Suha. Karena
seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak ingin melukai hatinya. Aku tahu
ia sangat ingin aku masuk Akmil. Ia selalu yang paling sibuk ketika aku akan
melakukan pendaftaran maupun tes. Karena kata dia, cita-citanya saat ini adalah
mengantarkan aku menjadi seorang Jenderal. Seorang Jenderal yang merupakan
cita-citanya yang tidak dapat terwujud.
***
Aku
ingin menceritakan lagi bagaimana aku sangat berutang budi kepada Suha. Ini
menyangkut cerita tentang idhaku. Di kampungku, idha adalah panggilan untuk
ayah. Idhaku sendiri adalah seorang pria yang hebat. Berangkat melaut pada dini
hari dan pulang di pagi hari. Ikan hasil tangkapannya beliau serahkan kepada
tangan ke dua untuk dijual di pasar. Dengan bekerja sebagai nelayan, beliau
memberikan penghidupan yang layak bagi kami. Tapi itu dulu. Dulu sekali.
Sebelum laut menutup kisahnya.
Saat
itu aku berusia 8 tahun. Selama satu bulan terakhir beliau sering berada di
rumah dan mengeluhkan kondisi cuaca yang tidak menentu. Tentu saja beliau tahu
baik hal itu karena beliau adalah seorang nelayan yang belajar dari ribuan
pengalamannya. Sebenarnya aku sangat senang karena aku bisa menghabiskan waktu
yang panjang bersama idhaku. Namun aku tidak melihat kesenangan yang sama di
wajah idha. Bukan karena beliau tidak suka bersama denganku tapi karena keadaan
keuangan rumah tangga yang semakin menipis karena idha yang selama satu bulan
ini sudah jarang melaut.
Idha
sering menyesali saat dimana beliau memutuskan untuk tidak melaut karena beliau
pikir akan terjadi cuaca buruk saat itu dan gelombang laut akan sangat tinggi.
Namun apa yang terjadi? Yang terjadi adalah tidak sama sekali. Beliau kelihatan
bingung karena tidak dapat memprediksi kondisi cuaca dengan baik. Bukan karena
beliau tidak tahu tapi kondisi cuaca memang sedang tidak menentu dan cepat
berubah.
Suatu
malam idha memutuskan untuk pergi melaut sendirian karena nelayan-nelayan yang
lain enggan untuk turun ke laut. Mereka memprediksi bahwa gelombang masih akan
tinggi. Tentu saja hal ini berarti bahaya bagi para nelayan. Tapi idha berpikir
saat itu bahwa mungkin saja perkiraan teman-temannya kali ini salah seperti
yang terjadi sebelum-sebelumnya. Beliau memberanikan diri melaut sendirian
karena keadaan keuangan yang cukup mendesak saat itu. Ina melarang beliau namun
tetap saja beliau bersikeras. Beliau berkata, beliau tidak akan melaut jauh-jauh.
Cukup di sekitar pantai saja.
Apalagi
yang harus dikatakan inaku. Beliau tidak dapat menahan idha. Akhirnya pada dini
hari di hari Minggu itu, idha berangkat seperti biasa. Ina masih saja berusaha
mengurungkan niat beliau namun sia-sia. Ina hanya bisa pasrah dan mendoakannya
selamat.
Pada
pagi harinya, aku perhatikan awan begitu tebal di atas kami dan suasana begitu
gelap. Padahal subuh tadi masih terlihat banyak bintang di langit. Kami melihat
ke arah laut. Suasana di sana jauh lebih gelap. Angin terasa memukul-mukul
pundakku dengan kerasnya. Aku seolah-olah akan terdorong ke depan. Apa yang
terjadi, pikirku.
Aku
mendengarkan percakapan teman-teman idha. Kata mereka, hujan yang sangat deras
akan turun sebentar lagi. Gelombang juga akan sangat tinggi. Aku belum begitu
mengerti saat itu. Namun aku tahu bahwa ini sesuatu yang berbahaya karena inaku
tampak sangat resah. Beliau berjalan mondar mandir. Beberapa kali pergi ke
rumah Kepala Desa untuk meminta pertolongan. Inaku ingin agar kepala desa
mengerahkan para warga untuk turun di laut menjemput idha. Tapi kepala desa
menolaknya. Dalam keadaan seperti ini, menyuruh warga untuk turun ke laut
adalah tindakan tidak masuk akal, kata beliau. Itu sama saja mengantarkan
mereka semua dalam bahaya. Pak kepala desa meminta ibu untuk tetap tenang dan
menunggu keadaan sedikit membaik. Setelah itu barulah beliau akan mengerahkan
para warga untuk turun ke laut.
Di
luar, teman-teman idha mulai berdiskusi tentang kondisi cuaca yang terjadi saat
itu. Kata mereka ada keanehan yang terjadi saat itu. Harusnya pada jam-jam
segini, angin laut sudah mulai bertiup sehingga idhaku bisa segera pulang.
Namun yang terjadi, angin darat masih saja bertiup kencang. Hal ini
mengakibatkan idhaku kesulitan untuk pulang. Apalagi perahu idha adalah perahu
kecil. Bisa jadi perahu idha makin terbawa angin dan arus hingga semakin
menjauhi daratan. Mereka hanya berharap agar idhaku dapat kembali dengan
selamat.
Ina
tampak semakin resah. Beliau bahkan nekat untuk turun ke laut menjemput idha.
Tapi ibu-ibu tetangga melarangnya dengan keras. Kata mereka, ina harus
memikirkan aku. Aku sedih berada dalam situasi itu. Kami hanya pasrah menunggu
idha kembali. Namun hingga hujan mereda pada sore hari, idha belum juga
kembali.
Sesuai
janji, bapak Kepala Desa menggerakkan warganya untuk turun ke laut mencari
idhaku. Hingga menjelang malam hari idhaku belum juga ditemukan. Pencarian
dihentikan karena malam sudah semakin larut. Aku dan ina hanya bisa berdoa dan
terus berdoa. Air mataku tiada henti-hentinya mengalir. Aku benar-benar
ketakutan.
Kira-kira
pukul 10 malam terdengar suara pintu digedor berulang-ulang. Ina membukakan
pintu. Di hadapan kami, Suha sedang berdiri dengan keringat mengucur dari
tubuhnya yang hitam dan suaranya yang ngos-ngosan.
“Tanta,
cepat ikut saya! Ada idhanya La Janu di pantai sana!”
Inaku
benar-benar tercengang. Beliau langsung berlari mengikuti Suha yang
bertelanjang kaki. Aku pun mengikuti mereka dari belakang. Suha berlari sambil
meneriakan, “idhanya La Janu sudah ketemu”. Para warga terbangun dan berlari
keluar rumah. Mereka juga ikut berlari mengikuti Suha.
“Ne
ini”, kata Suha sambil menunjuk sosok seorang pria yang terbaring lemah.
Ina
jatuh tak berdaya dan menangis. Kata Suster Anjari yang saat itu juga datang,
idhaku masih hidup. Masih ada nafas walau sangat lemah. Idha segera digotong
oleh warga ke Puskesmas dan dengan cepat ditangani oleh Suster Anjari. Terus
terang, tidak ada dokter di desa kami.
Ina
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Suha. Aku pun demikian. Aku
benar-benar terpukau dengan apa yang ia ceritakan. Ia menceitakan bagaimana
caranya sampai ia bisa menemukan idhaku kepada semua orang yang penasaran kepadanya.
Ia berkata bahwa ia hanya terus mencari saja. Ketika idhaku tidak ditemukan di
tengah laut, ia berpikir pasti idhaku sudah hanyut dibawa arus. Kalau begitu
kemungkinan besar beliau terdampar di pinggir pantai karena saat itu arus
bergerak menuju bibir pantai. Jika sampai ia tidak menemukannya juga maka
kemungkinan besar idhaku terdampar di pulau seberang.
Aku
memperhatikannya saat itu. Suha benar-benar hebat. Ia masih berusia 13 tahun
namun sudah dapat melakukan hal sehebat itu. Aku benar-benar terpukau. Aku
benar-benar berterima kasih padanya. Aku berutang budi padanya.
Sudah
2 hari ini keadaan idha belum juga membaik. Kami terus menunggui idha di
Puskesmas. Rencananya esok pagi kami akan membawa beliau ke Rumah Sakit di
pulau seberang. Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Idha meninggal
dunia. Aku dan ina tidak kuasa menahan tangis. Saat itu bahkan ina pingsan
ketika mengetahuinya. Kata suster Anjari, hal seperti ini memang mungkin saja
terjadi. Kemungkinan besar akibat perubahan kimiawi dan biologi pada paru-paru
idhaku setelah insiden nyaris tenggelam. Hal ini sering terjadi pada
orang-orang yang nyaris tenggelam.
***
Pengumuman
tes tahap pertama Akmil masih dua bulan lagi sedangkan pengumuman SIPENCATAR AMG
tahap pertama telah keluar. Aku bergegas ke sekolah dan mencari pengumumannya
di internet. Alhamdulillah aku lolos. Aku sangat senang sekali. Tahap pertama
sudah berhasil aku lalui.
Selama
perjalanan pulang dari sekolah, aku terus berpikir. Aku tidak bisa
menyembunyikan hal ini lagi. Sebentar lagi aku akan ke Kendari untuk melakukan
tes kesehatan dan wawancara. Alasan apa yang akan aku gunakan untuk pergi ke
Kendari sementara pengumuman Akmil saja belum keluar.
Aku
akan memilih. Aku akan memilih untuk meneruskan AMG dan menghentikan perjuanganku
di Akmil. Aku akan memilih AMG. Aku akan mencoba menjelaskan hal ini pada Suha.
Walaupun kenyataannya pahit. Tapi inilah mauku. Inilah inginku untuk masa
depanku. Karena hidupku adalah pilihanku.
Sebelum
aku bertemu Suha, aku mendiskusikan hal ini kepada ina. Kata beliau, ikutilah
kata hatimu sendiri. Jangan melakukan sesuatu dengan terpaksa karena hal itu
tidak akan bertahan lama. Hal itu akan menjadi beban yang akan kau tanggung
seumur hidupmu.
Mendengar
ucapan ina, hatiku semakin mantap. Dilema yang selama ini aku rasakan hilang
dalam sekejab. Benar sekali apa yang dikatakan ina. Walaupun sangat berat
bagiku untuk mengecewakannya, aku akan coba menjelaskan kepadanya. Ia pasti
akan mengerti. Ia sudah menganggapku sebagai adiknya. Ia pasti mengerti
perasaan adiknya ini.
Aku
mendatangi rumah Suha yang berjarak 3 rumah dari rumahku. Aku menemukannya
sedang membersihkan halaman depan rumahnya. Tampaknya suasana hatinya sedang
sangat baik. Inilah waktu yang tepat, ucap pikirku.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.
Eh Jenderal Janu, Pedahae? Maimo, bantu inodi fekatahi deki halaman aini.” Ia
memintaku membantunya membersihkan halaman rumahnya.
Aku
menurutinya. Aku ingin menyenangkan hatinya. Setelah semua selesai, ia
mengajakku naik ke rumah panggungnya untuk minum teh bersama. Ia menceritakan
tentang pohon jati yang dieksplorasi secara berlebihan oleh orang-orang dari
kota. Aku mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Aku hanya memberi
komentar sekedarnya.
Saat
ia sudah selesai bercerita, aku mulai membuka pembicaraan baru.
“O
isa,” begitu aku memanggilnya, “Aesalo maafu kedae.”
“Maaf?
Untuk apa?”
Aku
diam. Diam beberapa lama. Mencari-cari kata yang tepat agar tidak melukai
hatinya.
“Sa
bingung mau menjelaskan bagaimana. Sa betul-betul tidak bermaksud melukai
hatimu, isa.”
“Umbe
kunai, foratomo.” Ia memintaku segera mengatakannya.
“Sebenarnya,”
aku terdiam lagi, “sebenarnya sa daftar sekolah kedinasan lain selain Akmil. Sa
sudah lolos seleksi tahap pertama.” Ucapku pelan sambil menundukkan kepala.
Aku
menunggu responnya. Dia hanya diam. Diam memperhatikanku. Menunggu aku untuk
melanjutkan pembicaraanku.
“Sa
sudah pikir baik-baik. Sa sudah tanya mi juga inaku. Akhirnya sa berani datang
ke sini. Sa ingin kasitau isa kalau...” aku diam sejenak, “sa ingin kasi tau
isa kalau sa nda bisa masuk Akmil. Maaf. Tapi sa punya pilihan sendiri.”
Ia
masih saja diam dan menatapku dengan serius.
“Demi
Allah, sa nda ingin kasih kecewa isa. Sa juga berat sekali mau mengambil
keputusan ini.”
Ia
tersenyum kecil, “Memang pilihanmu apa?”
“Sa
ingin masuk sekolah AMG. Akademi Meteorologi dan Geofisika.”
“Apa
itu?”
“Sa
ingin belajar tentang meteorologi. Tentang cuaca. Tentang alam. Isa kan tau
kalau sa suka sekali dengan sains.”
Ia
tertawa, “Kau mau jadi peramal cuaca?”
“Bukan
begitu isa. Sa ingin jadi orang yang bermanfaat. Sa ingin berjalan di jalan
yang telah sa pilih sendiri. Bukan karena sa nda percaya dengan apa yang isa
pilihkan untuk saya. Tapi yang sa ingin adalah bisa memahami alam. Karena
kehidupan orang-orang seperti kita ini sangat tergantung dengan alam. Bahkan
ada jutaan orang di luar sana yang sama seperti kita. Sangat tergantung pada
alam. Sa ingin kita bisa membaca dan memahami alam. Biar kita bisa
menggunakannya untuk hidup yang lebih baik lagi.”
“Polos
sekali kau. Kau tahu Janu, di dunia ini yang dibutuhkan adalah kekuatan dan
kekuasaan. Mana mungkin kau mendapatkan itu di sekolah seperti itu?”
“Bukan
itu yang sa cari isa. Sa nda muluk-muluk ji. Sa nda bisa paksakan sesuatu yang
sa sendiri tidak begitu berminat. Sa takut kalau sa mulai bosan, akhirnya jadi
beban. Sa ingin menjalani hidupku sesuai dengan pilihanku sendiri. Maaf isa.
Tapi sungguh, sa yakin sekali ingin masuk di AMG saja.”
Ia
tersenyum tipis lagi, “Apa nda lebih baik ko tes saja dua-duanya. Siapa tahu ko
nda lolos di AMG.”
“Tidak
isa. Nda usah. Kalo sa nda lulus tahun ini, tahun depan sa coba lagi. Nda usah
mi sa lanjutkan tesku di Akmil karena sia-sia saja. Kalau pun sa lolos, sa
tetap nda ambil ji isa. Buang-buang uang isa saja.”
Ia
diam lagi. Tidak merespon.
“Sa
minta maaf isa. Maaf sekali. Sa sudah kasih repot isa terus. Isa sampai antar
saya ke Kendari. Pakai uang isa sendiri lagi. Maaf sekali isa.” Aku tertunduk.
Tertunduk dalam.
“Ya
mau diapa lagi. Sudah itu mi keputusanmu. Masa sa mo paksa ko.” Dia diam dan
menatapku, “Nda papa Janu. Sa nda marah ji. Hidupmu adalah pilihanmu. Dimana
pun kau berada pasti kau akan jadi orang sukses. Karena sa bisa liat itu di
wajahmu.”
Aku
diam. Air mataku menetes.
“Jang
menangis dong. Masa anak laki-laki cengeng. Hahahaha......” Dia tertawa dengan
sangat keras.
“Sudah...
Sudah... Lanjutkan saja apa yang menjadi pilihanmu. Sa pasti akan selalu mendukung
dan mendoakanmu, adikku.”
Ucapannya
yang terakhir itu malah membuat air mataku mengalir lebih deras. Ia tidak
marah. Ia tidak marah padaku. Aku benar-benar senang dan lega. Ia memang paling
mengerti aku. Ia selalu mendukungku. Aku benar-benar menyayanginya. Aku
benar-benar menghormatinya. Sungguh, aku tidak berbohong. Aku benar-benar
menyayanginya.
THE
END